Senin, 25 April 2011

H-O

menekankan kepada perbedaan relative factor pemberian alam (endowments) dan harga factor produksi antarnegara sebagai determinan perdagangan yang paling penting (dengan asumsi bahwa teknologi dan citarasa sama). Teorema H-O menganggap bahwa tiap negara akan mengekspor komoditi secara relative mempunyai factor produksi berlimpah dan murah, serta mengimpor komoditi komoditi yang factor produksinya relative jarang dan mahal. Teorema penyamaan harga factor produksi menganggap bahwa perdagangan akan menghapuskan atau mengurangi perbedaan harga absolute dan harga relative factor produksi sebelum perdagangan antar negara.
Perdagangan dapat didasarkan pada suatu perbedaan dalam faktor endowment, teknologi atau citarasa antar dua negara. Perbedaan baik dan dalam fakter pemberian alam atau teknologi mengakibatkan perbedaan kurva kemungkinan produksi untuk tiap negara kecuali dinetralisasi oleh perbedaan dalam citarasa, mengakibatkan perbedaan dalam komodati relatifdan perdagangan yang saling menguntungkan. Jika kedua negara menghadapi biaya meningkat dan mempunyai kurva kemungkinan produkai yang identik tetapi citarasa berbeda maka juga akan terdapat perbedaan dalam harga komoditi relatif dan dasar untuk perdagangan yang saling menguntungkan antar dua negara itu. Perbedaan dalam harga komoditi relati fkemudian dinyatakan dalam perbedaan harga komoditi absolut antar dua negara itu, yang merupakan penyebab langsung perdagangan.
Teori Heckscher-Ohlin (kadang-kadang disebut sebagai teori modern — sebagai lawan daripada teori klasik—mengenai perdagangan internasional) menganggap bahwa negara-negara mempunyai citarasa yang sama, menggunakan teknologi yang sama, menghadapi skala pertambahan hasil yang konstan (Constan Return to Scale) (yaitu dengan kenaikan persentase tertentu dalam input, akan menaikkan output dengan persentase yang sama) akan tetapi sangat berbeda dalam hal faktor pemberian alam. Teori ini juga menyatakan bahwa dalam menghadapi citarasa atau kondisi permintaan yang identik, perbedaan dalam faktor pemberian alam ini akan niengakibatkan perbedaan harga relative faktor antar negara, yang pada gilirannya membawa perbedaan dalam harga komoditi relatif dan perdagangan. Dengan demikian, dalam teori Heckscher-Ohlin, hanya perbedaan internasional dalam kondisi penawaran saja yang menentukan pola perdagangan. Perlu diperhatikan bahwa kedua negara itu tidak harus identik dalam semua hal supaya perdagangan internasional terutama didasarkan pada perbedaan dalam faktor pemberian alam mereka.
Menurut teori H-O, perdagangan internasional menghasilkan penyamaan dalam pendapatan pada faktor sama jenis hanya jika perdagangan dilanjutkan sampi Pw/Pc menjadi identik di kedua negara. Hal ini karena selama ada suatu perbedaan dalam r/w di kedua Negara, akan terdapat perbedaan dalam Pw/Pc dan volume perdagangan akan meluas. Tetapi bila hal ini terjadi perbedaan dalam Pw/Pc dan dengan demikian perbedaan akan dikurangi. Jika volume perdagangan berhenti berkembang ketika Pw/Pc telah menjadi identik di kedua negara kemudian r/w dan r dan w akan disamakan. Hal ini akan terjadi jika tidak ada biaya transportasi dan tidak ada hambatan perdagangan (seperti tarif, kuota, dan sebagainya). Karena dalarn praktek, biaya transportasi dan hambatan perdagangan memang ada, rneluasnya perdagangan berhenti sebelum Pw/Pc disamakan. Dengan demikian, r/w, r dan w juga tidak disamakan. Namun demikian, perbedaan yang sebenarnya dalam harga-harga faktor di dunia dewasa ini tampaknya terlalu besar untuk dijelaskan hanya oleh biaya transportasi dan hambatan perdagangan. Sebagian besar dan perbedaan itu mungkin terjadi karena anggapan-anggapan mengenai teknologi yang sama di semua negara tidak ada skala ekonomis dan persaingan sempurna yang dianggap oleh teori H-O tidak teiadi dalam praktek.



PERDAGANGAN YANG DIDASARKAN PADA PRODUK YANG DIFERENSIASI
Meskipun teori H-O dipertahankan, namun sebagian dari perdagangan internasional tidak dapat dijelaskan oleh model dasar H-O. Diantaranya intra-industry trade (perdagangan industri) atau perdagangan dalam produk yang diferensiasi. Produk yang dideferensiasi adalah produk-produk yang serupa tetapi tidak identik yang diproduksi oleh industri yang sama atau kelompok produk yang luas diberbagai negara. Inra industry trade munculkaena produsen melayani citarasa mayoritas dalam negara mereka, dan membiarkan citarasa minoritas dipuaskan oleh barang-barang impor. Berhubungan dengan hal ini adalah kenaikan tajam dalam perdagangan internasional bagian da komponen produk karena perusahaan-perusahaan internasional memproduksi bagian-bagian merakitnya di berbagai negara agar memperoleh biaya produksi yang minimal.

PERDAGANGAN YANG DIDASARKAN PADA KESENJANGAN TEKNOLOGI DAN SIKLUS PRODUK
Menurut model kesenjangan teknologi, banyak sekali ekspor dari negara-negara industri didasarkan pada penemuan jenis produk baru dan proses produksi baru. Hal ini membuat negara itu, untuk sementara waktu, memonopoli, sampai negara lain meniru teknologi tarsebut dan menjual lebih murah dibanding negara yang memperkenalkan teknologi baru tersebut. Sementara itu, penemuan teknologi baru, mungkin memperkenalkan produk yang lebih baru lagi dan proses produksi yang lebih baru. Suatu generalisasi dan perluasan dari model kesenjangan suatu teknologi adalah model siklus produk oleh Vernon. Menurut model ini, memperkenalkan suatu produk baru biasanya memerlukan tenaga ke,rja yang sangat terlatih dalam proses produksi. Bilamana produk itu sudah baik dan memperoleh pengakuan umum, produksinya menjadi standar, dan hanya memerlukan tenaga kerja yang tidak terlatih. Kemudian keuntungan komparatif bergeser dan negara yang memperkenalkan produk itu kepada negara dengan tenaga keija yang lebih murah. Banyak sekali ekspor Amerika Serikat (sering menjadi penemu teknologi) merupakan produk-produk baru.


BIAYA PENGANGKUTAN
Sejauh ini kita telah mengabaikan biaya pengangkutan (yaitu, secara implisit kita menganggap bahwa biaya ini adalah nol). Bila memperhitungkan biaya tersebut, maka modal perdagangan kita perlu disesuaikan, sebagai berikut. Suatu komoditi akan diperdagangkan hanya jika selisih harga sebelum perdagangan, antar dua negara melebihi biaya pengangkutan komoditi tersebut antar mereka. Sebagai tambahan, bila perdagangan berada dalam keseimbangan, maka harga komoditi yang diperdagangkan di negara pengimpor melebihi harga dan komoditi yang sama di negara pengekspr sebesar biaya pengangkutan.

INTERPRETASI

PERLUASAN MODEL PERDAGANGAN HECKSCHER-OHLIN
Model perdagangan H-O memerlukan perluasan karena, walaupun umumnya teori ini mengandung kebenaran, teori ini gagal menjelaskan bagian penting dari perdagangan internasional, khususnya perdagangan dalam produk manufaktur antar Negara industri. Perdagangan internasional yang tidak dijelaskan oleh model dalam HO dapat dijelaskan oleh (1) perdagangan intra industri, (2) perdagangan yang berdasar pada skala ekonomis dan (3) perdagangan yang berdasarkan pada kesenjangan teknologi dan diferensiasi produk. Diferensiasi produk adalah produk yang sama, tetapi tidak identik (seperti mobil, mesin tik, rokok putih, sabun, dan sebagainya) yang diproduksi oleh industri yang sama atau kelompok produk yang lebih luas. Perdagangan dalam ndustri yang sama merujuk pada perdagangan internasional dalam produk yang didiferensiasi.
Gambar yang menunjukkan bahwa jika dua negara, misalnya Inggris dan Jerman, mempunyai, teknologi dan citarasa yang identik, masih terdapat dasar untuk perdagangan yang saling menguntungkan di antara mereka jika masing-masing negara mempunyai skala dalam memproduksi lebih banyak gandum dan kain.











Karena kedua negara mempunyai faktor alam dan teknologi yang identik, kurva-kurva kemungkinan produksi adalah identik. Karena kedua negara mempunyai skala ekonomis atau berproduksi pada biaya yang semakin menurun, kurva kemungkinan produknya adalah cembung terbadap titik nol. Misalnya dalam Gambar 4-2, BAC adalah kurva kemungkinan produksi, baik untuk lnggns maupun Jerman. Karena kedua Negara juga mempunyai citarasa yang identik, mereka rnempunyai peta indiferens yang identik. Dalam keadaan tertutup (terpisah), kedua negara tersebut mengkonsumsi pada titik A pada kurva indiferens I. Walaupun pada titik A Pw/Pc = 1 di kedua negara, namun masih terdapat dasar untuk perdagangan yang didasarkan pada biaya menurun. Misalnya, Jerman dapat berspesialisasi sepenuhnya dalam produksi gandum (yaitu produksi bergeser dari titik A ke B, dengan demikian mengambil keuntungan dari skala ekonomis atau biaya menurun, dalam produksi gandum), menukarkan 30W untuk 30C dengan lnggris, dan mencapai titik E pada kurva indiferens II dalam konsumsi. Kemudian lnggris akan berspesialisasi sepenuhnya dalam produksi kain (yaitu produksi bergeser dan A ke C, dengan demikian mengambil keuntungan dari penurunan biaya dalam produksi kain), menukarkan 30C untuk 30W dengan Jerman dan mencapai titik E dalam konsumsi. Dengan melakukan hal ini, kedua negara beruntung 10W dan 10C.
Berhubungan dengan perdagangan yang didasarkan pada skala ekonomis adalah hipotesis yang dikemukakan oleh Linder bahwa suatu negara akan mengekspor produk rnanufaktur yang diminati mayoritas penduduk di dalam negara itu, dan bila produk tersebut mempunyai pasar domestik yang sangat besar. Meskipun hipotesis terbukti di negaranya sendiri, Swedia, hipotesis Linder tidak cocok untuk negara-negara lain. Misalnya, hipotesis ini tidak dapat menjelaskan mengapa Korea mengekapor kartu-katru Natal, padahal di Negara itu sendiri tidak ada pasar domestik untuk produk ini.
Titik A tidak stabil dalam arti bahwa jika dergan alasan apapun, produksi Inggris atau Jerman bergeser menjauhi titik A, maka produksi negara itu tidak akan kembali pada titik A tetapi akan terus berspesialisasi lebih banyak dalam komoditi tersebut. Kemudian negara lain akan berspesialisasi dalam produksi komoditi lain.
Skala ekonomis timbul karena terjadi pembagian tenaga kerja dan spesialisasi menjadi mungkin bila skala operasi cukup besar. Yaitu, tiap pekerja dapat berspesialisasi dalam melakukan tugas sederhana secara berulang-ulang, dan mengakibatkan peningkat produktivitas. Selain ini, mesin-mesin yang lebih khusus dan produktif dapat digunakan pada skala pekerjaan yang besar.
Jika skala ekonomis berlangsung lama dan dalam jumlah output yang besar, maka satu atau beberapa perusahaan akan menguasai seluruh pasar komoditi, yang masing-masing mengarah ke monopoli atau oligopoli.

Model kesenjangan teknologi menganggap bahwa sebagian besar ekspor dan negax-anegara industri didasarkan pada memperkenalkan produk baru dan proses produksi baru, yang ditiru oleh negara-negara dengan tenaga kerja lebih murah untuk menguasai pasar. Sementara itu pemimpin teknologi mungkin telah memperkenalkan produk yang lebih baru dan proses produksi yarrg lebih baru. Satu kerugian ini adalah tidak menjelaskan bagaimana kesenjangan teknologi timbul dan bagairnana tepatnya kesenjangan ini hilang dengan beralunya waktu.
Model siklus produk, yang dikembangkan sepenuhya oleh Vernon dalam tahun 1966, menunjukkan generalisasi dan perluasan model kesenjangan teknologi. Menurut model ini produksi mula-mula dari suatu produk baru biasanya rnemerlukan tenaga kerja terlatih, yang dapat diganti oleh tenaga kerja tak terlatih bila produk itu sudah menerima pengakuan umum dan distandarisasi. Dengan demikian, keuntungan komparatif yang diperoleh negara dengan teknologi tinggi yang memperkenalkan produk baru, bergeser ke negara dengan upah yang lebih rendah. Dukungan luas untuk model ini terjadi (ada) dalarn dampak praktek, di mana ditemukan korelasi yang kuat antara pengeluaran untuk riset dan pengembangan (R & D) sebagai pengganti keuntungan komparatif temporer dalam produk baru dan pelaksanaan ekspor dan produk bar ini.
Teori perdagangan tradisional (sebagaimana dibahas selama ini) menerima teknologi sebagai sesuatu yang sudah tertentu. Walaupun model ini dapat diperluas dengan mengikutsertakan perubahan dalam teknologi, model ini tetap tidak bahas proses dinamis (yaitu proses sepanjang waktu di mana suatu perubahan teknologi berpengaruh pada perdagangan. Kesenjangan inii dipenuhi oleh model kesenjangan teknologi dan model sikius produk).

Pembahasan soal:
Bagian Inggris dan Amerika Serikat dalam Gambar 4-3 membagi sumbu vertikal yang sama yang mengukur harga (absolut) dan kain dalam dolar. Kenaikan jumlah kain per tahun diukur oleh pergeseran dan titik nol ke sebelah kanan untuk Amerika Serikat dan pergeseran dan titik nol ke sebelah kiri untuk Inggnis. Perhatikanlah bahwa DC mempunyai kemiringan negatif dan SC mempunyai kemiringan positif untuk Inggris jika kita bergerak dari kiri ke kanan. Berdasarkan Gambar 4-3, (a) berapakah keseimbangan harga dan jumlah kain dalam keadaan tanpa perdagangan di Inggris dan Amenika Senikat? (b) Jika kita menganggap biaya transportasi adalah nol, berapa seharusnya harga kain agar menghasilkan keseimbangan dalam perdagangan? Berapa banyak kain diperdagangkan? Berapa banyak kain diproduksi dan dikonsumsi dalam tiap negara dengan perdagangan?
Jawab:
(a) Harga keseimbangan dan jumlah kain di tiap negara keadaan tanpa perdagangan ditentukan oleh perpotongan kurva permintaan pasar dan kurva penawaran pasar dalam negara itu. Dengan demikian,  P = $3 dan Q = 60/tahun di Inggris, sementara P=$6 dan = 60/tahun di Amerika Serikat (lihat Gambar 4-3).
(b) Bila perdagangan diperkenalkan, Inggris akan mengekspor kain Amenika Serikat. P naik di lnggris dan turun di Amenika Serikat (dari tingkat autarki mereka masing-masing). Keseimbengan Pc dengan perdagangan (sama di kedua negara) adalah yang membuat pasar menjadi seimbang. Hal ini dinyatakan oleh P=$4,50 karena pada harga ini, Inggris ingin mengekspor 60C per tahun dan Amerika Serikat ingin mengimpor 60C per tahun. Yaitu, pada P = $4,50 Inggnis memproduksi 90C, mengkonsumsi 90C. Hal yang sama dapat dilakukan untuk gandum.


DAFTAR PUSTAKA


Krugman, Paul R., dan Maurice Obstfeld. 1992. Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan. Buku 1. Terj.: Faisal Basri. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Pearson, Frederick S., dan Simon Payaslian. 1999. International Political Economy: Conflict & Cooperation In The Global System. Boston: Mc Graw-Hill College.
Salvatore, Dominick. 1994. Ekonomi Internasional. Seri Buku Schaum: Teori dan Soal-soal. Terjemahan. Jakarta: Erlangga.

Sabtu, 23 April 2011

MULTI NATIONAL CORPORATION (MNC)



    Dalam tahun-tahun belakangan ini, sejumlah isu-isu ekonomi-politik banyak dikemukakan secara lebih retorik berkenaan dengan hubungan antara negara dengan sebutan Multinational Corporation (MNC) ataupun Transnational Corporation (TNC), atau di Indonesia dikenal umum dengan nama Perusahaan Multi Nasional (PMN).
    Perdebatan besar antara pihak yang menolak dan menerima atau yang mempertahankan kehadiran MNC di negara-negara berkembang telah menghasilkan berbagai persetujuan, masukan konsep-konsep baru dan bahkan teori-teori pembangunan ekonomi yang diperkirakan cukup relevan dengan kondisi sebagian besar negara-negara dunia ketiga tersebut.
    Dalam studi ekonomi politik, MNC merupakan topik bahasan yang cukup sentral karena ia merupakan subjek khusus sebagai pelaku maupun sekaligus sebagai objek sasaran pelaku atau kajian pokok. Selain itu juga, isu mengenai MNC, melibatkan sejumlah perbincangan di negara-negara maju dan negara-negara berkembang satu sama lain telah merebak menjadi isu internasional, baik yang pro maupun yang kontra khasnya dalam interaksi menyangkut hubungan masing-masing Utara-Selatan. Dalam konteks studi ekonomi politik, MNC dapat dikategorikan sebagai subjek aktor bukan negara (non state actors) yang memiliki peran yang sangat luas dalam pola hubungan antar negara saat ini.
    Isu MNC juga cukup menyita perhatian para pakar ekonomi politik, karena tingkah lakunya yang biversi sebagai subjek maupun sebagai objek yang sering kali menimbulkan kontroversi sehingga menimbulkan beberapa hal yang unik dan bahkan perubahan dalam tatanan internasional khususnya ketika berlangsung sama ofensif damai hubungan Timur-Barat yang berlaku secara global. Richard Mansbach dalam karyanya The Web of World Politics: Non State Actors in Global System (1976); yang banyak membahas masalah-masalah MNC baik sebagai objek maupun sebagai objek, salah seorang pakar yang menjadi pemerhati masalah-masalah politik internasional, mengemukakan suatu asumsi menyangkut beberapa aspek penting dari realitas perubahan tatanan internasional yang dalam prinsip-prinsipnya dapat dipandangkan kedalam dua perspektif :


  1. Pertama, perspektif sistemik, diantaranya adalah:
    1. The primacy of economic and human pursuit yakni telah surutnya perhatian orang kepada isu-isu politik dan keamanan, sebagai akibat meluasnya perhatian terhadap perkembangan lingkungan ekonomi, seperti: tidak berfungsinya sistem moneter yang dikenal dengan nama Bretton Wood System, kelangkaan sumber daya alam dan manusia, fluktuasi harga minyak dan gas yang selalu berubah secara tajam, konflik Utara-Selatan, serta tuntutan terhadap Tata Ekonomi Dunia Baru (TEDB).
    2. Specifistry of Power, yakni perubahan-perubahan dalam sistem internasional ( sebagaimana pernah dialami pada masa lampau seperti menurunnya kekuatan Amerika Serikat, detente, pluralisme internasional (solidaritas dunia ketiga) yang berasal dari hakekat perubahan power dalam konteks tumbuhnya inter-dependensi (saling ketergantungan) internasioal dan kepentingan yang melengkapi.
    3. Inter-relations domestic and international politics, yakni sistem internasional kontemporer yang ditandai dengan perkembangan inter-relasi dan inter-dependensi antara politik domestik dan politik internasional.
  2. Kedua, Perspektif unit, diantaranya adalah:
    1. State ness as variable, yakni suatu pemikiran dari kaum tradisional tentang negara (uniform dan unitarism) tidak dapat dibenarkan lagi secara empirik. Sistem internasional diyakini sebagai telah bertengger diantara tertib dan anarki dan menghendaki penentuan atas aspek perubahan dan karakternya. Dengan demikian, atribut negara telah tidak relevan lagi.
    2. Significance of non-state actors, bahwa arena internasional diisi oleh beberapa aktor. Interaksi dari aktor-aktor sub nasional telah dapat melampaui batas-batas negara melalui bentuk-bentuk pengambilan keputusan internasional dan koordinasi atas aktifitas-aktifitas yang melintasi batas-batas negara baik bilateral maupun multilateral.
    Sehubungan dengan hal tersebut, realitas-realitas perubahan telah membuat para pakar ekonomi politik da khasnya studi hubungan internasional melakukan kritik-kritik dan telaahan baru yang memulainya dari asumsi tentang fakta yang tidak sesuai atau tidak relevan lagi dengan apa yang disebut paham realis berupa paradigma dan diduga akan terjadi bentuk anomali. Artinya adalah bahwa pemahaman-pemahaman yang bersifat global dalam interaksi dunia. Ini akan membuat mereka mengusulkan suatu pandangan baru yang disebut globalisme. Anggapan dasar utama dalam pandangan ini berangkat dari keyakinan telah berkurangnya peranan negara sebagai aktor dalam poltik dunia dan justru terjadi peningkatan peranan aktor bukan negara.
    Ide globalisasi yang berkembang menjadi pemikiran transnasionalisme kemudian menjadi dasar bagi pemahaman-pemahaman orang mengenai MNC, ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran Robert Keohane, Joseph S Nye, Richard Mansbach, Raymond Hopkind, dan lain-lain.

PENGERTIAN DAN DEFINISI MNC/PMN

    Perusahaan Multi Nasional (PMN) sesungguhnya belum memiliki definisi yang baku, dalam arti belum ada suatu kesatuan pandang dari para penstudinya, PMN sering kali diterjemahkan dari Multi National Corporation (MNC) ataupun Transnational Corporation (TNC), kadang-kadang konotasi kedua istilah tersebut dianggap memiliki pengertian yang sama, tetapi banyak pula pakar ekonomi politik yang berusaha membedakan masing-masing. MNC mengandung pengertian suatu perusahaan yang bergerak atau beroperasi di luar negerinya sendiri dengan saham yang terdiri dari beberapa negara (Lebih dari satu negara), sedangkan TNC pengertiannya adalah lebih luas dari pada hanya sekedar suatu perusahaan sebagaimana pengertian MNC. Luasnya arti TNC karena dilihat daripada aktifitasnya, besarnya operasi modal di luar negeri yang mencakup banyak negara dan memiliki manajemen yang bersifat komprehensif atau menjangkau skala perdagangan dan industri global.
    Dr. Sumantoro dalam tulisannya mengenai MNC/TNC memandang PMN dari berbagai aspek. Dari segi politik, fokus sentral kepada PMN sebagai subjek dalam hubungan internasional, terkait dengan kekuatan politiknya di tingkat nasional dan internasional, serta pola manajemennya yang terpusat sehinnga membawa pengaruh pada penguasaan informasi sebagai kekuatan politik, pun kekuatan ekonomi bagi perusahaan tersebut terhadap pihak yang dihadapinya. Dari segi hukum, fokus sentralnya terletak pada PMN sebagai badan hukum yang dapat merupakan cabang, usaha patungan atau perusahaan yang dimiliki umum (public company). Juga struktur pemilikan usaha, anggaran dasar perusahaan, bentuk hukum pengelolaannya serta penyelesaiannya jika ada sengketa hukum. Hal yang terakhir ini juga terkait dengan masalah yuridiksi hukum negara penerima modal. Dari segi ekonomi, fokus sentralnya pada aspek-aspek faktor produksi, modal keahlian manajemen dan keahlian teknologi, serta praktek-praktek usaha yang terkait dengan persaingan, besranya pasar, monopoli, dan sebagainya.
    Pandangan seperti itu pada dasarnya mengambil sejumlah definisi yang dikemukakan oleh beberapa pakar hukum seperti: Clive Schmithoff, definisi yang dikemukakan oleh kalangan PBB /Group of Eminet Persons, kalangan OECD, dan Dr. Ignaz.S. Hohenveldern. Dari sejumlah definisi yang beraneka ragam itu, pada prinsipnya Sumantoro mengajukan isu yang menjadi pusat perhatiannya dari masalah-masalah PMN, khususnya di negara-negara penerima modal yang dipahami sebagai:
  1. Perusahaan cabang, yang merupakan cabang yang tidak terpisahkan dengan PMN induknya.
  2. Perusahaan pemilikan subordinari, yang merupakan anak perusahaan yang berbadan hukum sendiri. Saham perusahaan ini sepenuhnya dimiliki oleh perusahaan induk.
  3. Perusahaan patungan (joint venture) merupakan perusahaan yang saham-sahamnya dimiliki oleh dua atau lebih perusahaan sebagai partner.
  4. Perusahaan yang berkedudukan lokal dan sebagian sahamnya dipegang oleh masyarakat (perusahaan yang go public atau public company). Bentuk lainnya yang pembentukannya didasrkan pada ketentuan perundangan yang ada, seperti bidang perbankan, pertambangan minyak dan gas bumi dan perdagangan atau jasa lainnya.
    Sementara itu ada beberapa definisi lain yang dikemukakan oleh penulis-penulis ekonomi politik, diantaranya adalah Stephen Gilland dan David Law. Sedangkan dari beberapa pandangan lainnya tentang pengertian, definisi, dan istilah yang digunakan umum bagi PMN ini banyak disebut-sebut sebagai: direct invesment, international bussiness, the international firm, the international corporated group, the multinational enterprise, la grande enterprise plurinationale, la gan unite plurinationale dan the US corporate monster, serta sejumlah nama lain untuk menyebut hal serupa. Sementara itu, apabila mengambil pemahaman menurut penggolongannya. Prof. John Dunning, memberikan beberapa kriteria membedakan PMN atas empat bentuk, yaitu:
  1. Multinational Producting Enterprise (MPE), yakni perusahaan yang memiliki dan mengontrol berbagai fasilitas produksi lebih dari satu negara.
  2. Multinational Trade Enterprise (MTE), yaitu semata-mata bergerak dalam bidang perdagangan dengan menjual barang yang diproduksi di dalam negeri, langsung kepada badan usaha atau orang di negeri lain.
  3. Multinational Internationally owned enterprise (MOE).
  4. Mutinational (Financial) controlled enterprise (MCE); sebagaimana MOE, MCE yang diawasi oleh lebih dari satu negara.
    Menurut penggolongan yang dilakukan oleh Dunning ini, sebagian besar perusahaan raksasa yang tergolong sebagai MOE seperti contohnya pada PMN Unilever, Royal Dutch/Shell, dan lain-lain. Dan apabila melihat kepada pengertian dari definisi yang diajukan oleh Sanjaya Lall ataupun Paul Streeten yang pada prinsipnya menekankan masalah-masalah PMN dalam perspektif ekonomis, organisasional dan motivasional. Pemahaman secara ekonomis adalah memberi penekanan kepada segi ukuran, penyebaran geografis dan tingkat keterlibatannya di luar negeri. Dari sini kemudian diperoleh suatu pengertian umum mengenai PMN yang berbeda dengan:
  1. Perusahaan besar domestik yang sedikit melakukan investasi di luar negeri.
  2. Perusahaan domestik yang mungkin melakukan investasi di luar negeri tetapi dalam unit ekonomi yang lebih kecil.
  3. Perusahaan besar yang melakukan investasi di luar negeri tetapi hanya di satu atau dua negara saja.
  4. Investor besar portofolio yang tidak berusaha mengontrol investasinya dan mengambil resiko kewiraswastaan.
    Uraian ringkas mengenai perkembangan transnasional proses pertumbuhan PMN/ transnasional mulai tampak sejak lahirnya revolusi industri di Inggris dan kemudian berkembang melalui proses pentahapan lebih lanjut daripada kapitalisme modern yang mempengaruhi jalannya revolusi industri itu sendiri. Kegiatan perdagangan internasional yang memunculkan korporasi-korporasi bisnis yang melewati batas-batas negara, berusaha memakslimalkan aktifitas mereka  dalam rangka mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya dimanapun adanya pergerakan modal berlangsung tanpa banyak menghiraukan dampak buruk bagi negara dimana mereka menanamkan modalnya. Contoh klasik yang pernah dialami di Indonesia berlangsung sejak zaman kolonial ketika VOC mulai mengeksploitasi nusantara dankemudian dilanjutkan oleh pemerintah Hindia Belanda sampai menjelang Perang Dunia II. Pada masa sebelum Perang Dunia II (terutama dalam tahun 1930-an), aktifitas PMN khususnya di negara-negara jajahan mulai menurun karena situasi internal yang berlangsung di negara-negara pusat PMN yang kebanyakan berada di Eropa Barat dan Amerika Serikat, terjadi krisis ekonomi yang hebat. Beberapa indikator lain menunjukan adanya peningkatan perbedaan keinginan konsumen, standar industri yang diciptakan pemerintahdalam perdagangan internasional karena keadaan daripada perekonomian dunia yang sedang mengalami depresi. Ciri-cirinya antara lain:
  1. Terdapat sistem dominasi nasional.
  2. Sistem dasarnya adalah desentralisasi.
  3. Pendirian PMN sedikit (bahkan tidak) diarhkan/dikontrol lagi oleh negara induk korporasinya.
  4. Model persetujuan-persetujuan ialah berbentuk mother and daughter.
    Pasca  Perang Dunia II, negara masih merupak aktor yang dominan dalam hubungan internasional karena adanya atribut kedaulatan, apalagi banyaknya berdiri negara-negara baru merdeka yang sangat nasionalistik, paradigma yang sering tampak adalah state centric yang dikembangkan oleh mahzab realisme. Asumsi dasar yang diajukan oleh para penganut mahzab ini menerangkan bahwa negara yang dalam bentuk modernnya dipandang sebagai unit politik yang paling fundamental dalam sistem dunia (World System). Oleh sebab itu, adalah memungkinkan untuk menganalisis secara luas politik dunia (World Politics) dalam pengertian hubungan antar-negara (inter-state relations).







KEBERADAAN PMN DI NEGARA-NEGARA BERKEMBANG

    Negara berkembang seperti yang kita kenal sekarang ini adalah negara-negara yang kebanyakan merdeka pasca Perang Dunia II. Persoalan utama yang dihadapi setelah lepas dari kolonialisasi adalah masalah pemabangunan khususnya pembangunan ekonomi untuk mencapai kesejahteraan dan pertumbuhan yang tinggi. Dalam pembangunan ekonomi di negara-negara sedang berkembang, umumnya terdapat dua pendekatan yang ditempuh para agen-agen pembangunan.
    Yang pertama adalah pendekatan ortodoks. Dalam pelaksanaan strategi pembangunan yang dilakukan adalah mengoperasikan suatu bentuk sistem usaha bebas, inisiatif dan pemilikan pihak swasta, dan suatu pasar bebas yang berfungsi dalam pemerintahan yang stabil. Pendekatan ini banyak mengadopsi konsep-konsep daripada kapitalisme klasik sebagaimana pernah dialami oleh Eropa Barat pada saat memulai proses pembangunan menjadi negara-negara industri baru. Beberapa negara berkembang yang menerapkan pendekatan ortodoks ini diantaranya adalah: Brazil, Meksiko, Taiwan, Korea Selatan, Singapura, Hongkong, dan Filipina.
    Kedua, disebut dengan pendekatan radikal. Dalam strategi pembangunan yang dilakukan, banyak mengadopsi konsep-konsep dan pemikiran radikalis yang berasal dari sosialisme, marxisme/komunisme atau model-model yang diperbaharui daripada Neo Marxisme. Sementara itu ada pula konsep yang dipandang kiri (Left Concept) tanpa radikalis dengan model jalan tengah seperti yang diterapkan beberapa negara moderat yakni sosial-demokrat; dimana paham-paham yang diadopsi tidak sepenuhnya kapitalis tetapi tidak pula Marxisme. Untuk konsep radikal yang diajukan pada umumnya menganut dasar pemikiran yang banyak berlawanan dengan konsep/teori kapitalisme; seperti usaha pemutusan hubungan dalam ikatan dengan kapitalisme barat. Negara-negara berkembang disarankan untuk tidak menerima investasi dan bantuan (pinjaman) luar negeri yang bersumber dari negara-negara barat. Sebaliknya, negara-negara berkembang harus mampu mengendalikan sendiri ekonominya. Negara berkembang harus menegakan kedaulatan para buruh atas alat-alat produksi di dalam negeri dengan merasionalisasikan industri-industri asing maupun domestik. Negara berkembang juga harus menjalankan program-program pembangunannya secara merata melalui lembaga-lembaga perencanaan pusat. Strategi pembangunan yang dijalankan harus diarahkan kepada usaha untuk mencapai swasembada dan untuk menyingkirkan penetrasi ekonomi luar negeri. Beberapa negara contoh yang menerapkan pembangunan model ini diantaranya adalah: Republik Rakyat Cina (RRC), Cuba, Yugoslavia (sebelum terpecah), dan Vietnam. Namun demikian, menjelang akhir dekade 1970-an, terjadi perombakan reformasi dalam model pembangunan ekonomi yang dilaksanakan dimana unsur-unsur keterbukaan semacam liberalisasi dilakukan untuk menarik investor asing dan bantuan internasional, khususnya di Cina dan Vietnam.
    Pada pendekatan yang pertama, masuknya unsur PMN sebagai bagian daripada program berencana pembangunan negara-negara berkembang merupakan salah satu hal yang sangat diharapkan dan bahkan dianggap sebagai agen pembangunan. Dan sebaliknya pada pendekatan kedua (terkecuali setelah dilakukan suatu reformasi pembangunan), masuknya unsur PMN sangat tidak disukai karena dipandang sebagai unsur eksploitator, dan bahkan beberapa negara tertentu yang berpaham sangat radikal, PMN dilarang beroperasi misalnya Myanmar. Di negara seperti India yang dianggap menerapkan sosial-demokrat atau salah satu negara contoh yang menerapkan pendekatan campuran anatar ortodok dan radikal, kehadiran PMN justru sangat dicurigai, tetapi sosial demokrat di Swedia, Finlandia, dan beberapa negara Eropa Tengah, kehadiran PMN dan investor asing justru merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perencanaan pembangungan mereka.
    Kegiatan PMN secara global banyak menimbulkan pertentangan dari negara-negara Dunia Ketiga. Pertentangan itu terletak pada kondisi dilematis, PMN dapat bergerak dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan memaksimalkan manfaat PMN dalam bidang sosial pada satu sisi, dan sisi lain adanya bukti ekspasionisme modal PMN terhadap negara setempat yang banyak merugikan. Namun bagaimanapun terjadinya pertentangan anatara PMN dengan negara penerima modal tidak selamanya disebabkan oleh sifat ekspasionis kapital PMN, juga disebabkan oleh berbagai kendala dan masalah yang terjadi di negara-negara penerima modal itu sendiri. Operasi PMN di negara-negara penerima modal yang kebanyakan adalah negara berkembang juga disesuaikan dengan kebijakan penanaman modal dari negara bersangkutan. Tetapi adakalanya terjadi sesuatu yang paradoks diantara keduanya, umumnya paradoks yang nampak di negara berkembang adalah dalam bentuk kesulitan menghadapi aktifitas PMN yang secara empirik jauh memiliki kemampuan transaksi bisnis, ketimbang negara penerima modal. Misalnya:
  1. Sumber modal PMN: bank-bank di negara berkembang lebih menyukai memberikan pinjaman atau berbagai fasilitas kredit maupun garansi bank kepada perusahaan besar dan bonafid yang memiliki kegiatan luas seperti PMN dibanding harus memberikan kredit kepada perusahaan lokal yang tidak memiliki aset internasional.
  2. Akibat pemanfaatan teknologi: pengunaan teknologi maju/modern yang diimpor dari negara-negara maju ataupun asal PMN diharapkan oleh negara berkembang dapat memodernisasi mereka sehingga dapat mempersempit kesejangan teknologi antara negara maju dan berkembang. Namun pada kenyataannya terdapat conflict of interest dalam pertentangan transfer teknologi. Posisi PMN dalam kenyataan ini juga lebih kuat dibanding negara berkembang.
  3. Akibat iklan pemasran PMN: salah satu usaha PMN untuk menguasai pasar domestik adalah dengan jalan pemasangan iklan yang mendominasi sarana tersebut bagi perusahaan lokal, terdapat konsekuensi negatf dalam hal ini, diantaranya: mengalihkan urusan prioritas konsumen, dan juga mengembangkan imperialisme gaya hidup borjuasi konsumtif atau sekurang-kurangnya infiltrasi kebudayaan setempat, yang memberikan suatu ego massa terhadap adanya semacam ketidakpuasan pada kebutuhan berbagai produk yang ditawarkan pasar.
  4. Kekuatan mengawasi sumber: kekuatan yang dimiliki PMN terletak pada kemampuannya untuk mengawasi sumber-sumber yang mendatangkan keuntungan yang sebesar-besarnya meluas ke seluruh dunia. Oleh karena itu PMN selalu berusaha untuk mencapai global factory, global money market, global shopping centre.

POLA HUBUNGAN DAN PENGAWASAN NEGARA ATAS PERUSAHAAN MULTINASIONAL (PMN)

    Bentuk hubungan antara MNC dengan pemerintah negara penerima modal yang umumnya terdiri dari negara sedang membangun dapat dicermati dalam tiga bentuk corak pola hubungan:
  1. Pertama, hubungan ketergantungan, hegemoni, dan kepemimpinan yang memberikan keuntungan terbesar bagi PMN. Dalam hubungan ini, terdapat beberapa unsur yang mengikutinya, antara lain:
    1. Keterikatan negara penerima modal terhadap PMN yang berlebihan.
    2. Memiliki posisi tawar yang lemah.
    3. Integritas atas proteksi yuridis formal yang kurang memadai.
    4. Kapabilitas modal dan teknologi yang lemah.
    5. Kebutuhan akan pemenuhan produksi barang yang sangat tinggi.
    6. Kedudukan negara yang berstatus terbelakang, miskin, wilayah pinggiran.
  2. Kedua, hubungan saling ketergantungan, kesederajatan, dan akomodatif yang dianggap sama-sama menguntungkan antara PMN dan negara penerima modal. Dalam hubungan ini terdapat beberapa unsur yang mengikutinya, antara lain:   
    1. Keterikatan yang longgar diantara PMN dan negara penerima modal.
    2. Memiliki posisi tawar yang cukup memadai.
    3. Integritas atas proteksi yuridis formal yang kuat.
    4. Memiliki potensi kapabilitas yang kuat dalam banyak aspek.
    5. Kebutuhan produksi dan kemampuan pendistribusian yang seimbang dengan tingkat yang diperlukan masyarakat.
    6. Kedudukan negara yang berstatus sedang membangun atau bahkan negara industri baru atau suatu wilayah semi maupun transisi pusat dan pinggiran.
  3. Ketiga, bentuk hubungan penolakan, pertentangan, atau konflik. Pola hubungan ini biasanya terjadi sebagai akibat ketidakselarasan (ketidakharmonisan) yang berlangsung dari adanya kerja sama yang terjadi dari hubungan pertama, dan kedua. Indikatornya antara lain ialah:
    1. Keterikatan kuat berubah menjadi keterikatan longgar.
    2. Keterikatan longgar berubah menjadi leadership.
    3. Integritas yuridis formal yang interventif dan proteksionisme berlebihan.
    4. Hegemonisme PMN yang melanggar norma-norma kultural dan politik.
    5. Ketidaksepahaman atas berbagai kepentingan masing-masing secara kontemporer.
    6. Antiklimaks pola hubungan akibat situasi domestik negara penerima modal yang mengalami perubahan besar (revolusi, transformasi/ reformasi sistemik).
    Dari ketiga bentuk corak pola hubungan yang dicerminkan oleh beberapa unit analisisnya tersebut, maka hubungan kesederajatan adalah yang palin dikehendaki oleh negara penerima modal, karena adanya keseimbangan kepentingan. Namun hal ini juga banyak bergantung kepada proses terjadinya hubungan-hubungan yang berlangsung ataupun asal-usul penerimaan modal asing, cara-cara kontrak kerja sama dan persoalan kemampuan negara bersangkutan melakukan pengawasan atas tindak-tanduk PMN dalam aktivitas mereka melakukan produksi, distribusi dan sistem sirkulasi keuangan (modal) termasuk kemungkinan-kemungkinan terjadinya pelarian modal ke luar (capital flight) yang dapat merugikan kepentingan negara.       
























DAFTAR PUSTAKA

Baylis, John dan Steve Smith. 1998. The Globalization of World Politics. New York: Oxford University Press.
Ikbar, Yanuar.2002. Ekonomi Politik Internasional: Studi Pengenalan Umum. Bandung: Universitas Padajadjaran
Krugman, Paul.R dan Maurice Obstfeld. 1992. Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakkan. (Buku 1 dan 2).Terj: Faisal Basri. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Perwita, Anak Agung Banyu dan Yanyan Mochamad Yani. 2005.Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: Rosda
Salvatore, Dominick. 1995. Ekonomi Internasional. Jakarta : Erlangga

WORLD TRADE ORGANIZATION

  

World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar negara-anggota yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangannya. Walaupun ditandatangani oleh pemerintah, tujuan utamanya adalah untuk membantu para produsen barang dan jasa, eksportir dan importir dalam kegiatan perdagangan. Indonesia merupakan salah satu negara pendiri WTO dan telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO melalui UU NO. 7/1994.
WTO secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995 tetapi sistem perdagangan itu sendiri telah ada setengah abad yang lalu. Sejak tahun 1948, General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) - Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan telah membuat aturan-aturan untuk sistem ini. Sejak tahun 1948-1994 sistem GATT memuat peraturan-peraturan mengenai perdagangan dunia dan menghasilkan pertumbuhan perdagangan internasional tertinggi.
Pada awalnya GATT ditujukan untuk membentuk International Trade Organization (ITO), suatu badan khusus PBB yang merupakan bagian dari sistem Bretton Woods (IMF dan bank Dunia). Meskipun Piagam ITO akhirnya disetujui dalam UN Conference on Trade and Development di Havana pada bulan Maret 1948, proses ratifikasi oleh lembaga-lembaga legislatif negara tidak berjalan lancar. Tantangan paling serius berasal dari kongres Amerika Serikat, yang walaupun sebagai pencetus, AS tidak meratifikasi  Piagam Havana sehingga ITO secara efektif tidak dapat dilaksanakan. Meskipun demikian, GATT tetap merupakan instrument multilateral yang mengatur perdagangan internasional.
Hampir setengah abad teks legal GATT masih tetap sama sebagaimana pada tahun 1948 dengan beberapa penambahan diantaranya bentuk persetujuan “plurilateral” (disepakati oleh beberapa negara saja) dan upaya-upaya pengurangan tariff. Masalah-masalah perdagangan diselesaikan melalui serangkaian perundingan multilateral yang dikenal dengan nama “Putaran Perdagangan” (trade round), sebagai upaya untuk mendorong liberalisasi perdagangan internasional.
Putaran perundingan
Pada tahun-tahun awal, Putaran Perdagangan GATT mengkonsentrasikan negosiasi pada upaya pengurangan tariff.  Pada Putaran Kennedy (pertengahan tahun 1960-an) dibahas mengenai tariff dan Persetujuan Anti Dumping (Anti Dumping Agreement).
Putaran Tokyo (1973-1979) meneruskan upaya GATT mengurangi tariff secara progresif. Hasil yang diperoleh rata-rata mencakup sepertiga pemotongan dari bea impor/ekspor terhadap 9 negara industri utama, yang mengakibatkan tariff rata-rata atas produk industri turun menjadi 4,7%. Pengurangan tariff, yang berlangsung selama 8 tahun, mencakup unsur “harmonisasi” – yakni semakin tinggi tariff, semakin luas pemotongannya secara proporsional. Dalam isu lainnya, Putaran Tokyo gagal menyelesaikan masalah produk utama yang berkaitan dengan perdagangan produk pertanian dan penetapan persetujuan baru mengenai “safeguards” (emergency import measures). Meskipun demikian, serangkaian persetujuan mengenai hambatan non tariff telah muncul di berbagai perundingan, yang dalam beberapa kasus menginterpretasikan peraturan GATT yang sudah ada.
Selanjutnya adalah Putaran Uruguay (1986-1994) yang mengarah kepada pembentukan WTO. Putaran Uruguay memakan waktu 7,5 tahun. Putaran tersebut hampir mencakup semua bidang perdagangan. Pada saat itu putaran tersebut nampaknya akan berakhir dengan kegagalan. Tetapi pada akhirnya Putaran Uruguay membawa perubahan besar bagi sistem perdagangan dunia sejak diciptakannya GATT pada akhir Perang Dunia II. Meskipun mengalami kesulitan dalam permulaan pembahasan, Putaran Uruguay memberikan hasil yang nyata. Hanya dalam waktu 2 tahun, para peserta telah menyetujui suatu paket pemotongan atas bea masuk terhadap produk-produk tropis dari negara berkembang, penyelesaian sengketa, dan menyepakati agar para anggota memberikan laporan reguler mengenai kebijakan perdagangan. Hal ini merupakan langkah penting bagi peningkatan transparansi aturan perdagangan di seluruh dunia.
Hasil dari Putaran Uruguay berupa the Legal Text terdiri dari sekitar 60 persetujuan, lampiran (annexes), keputusan dan kesepakatan. Persetujuan-persetujuan dalam WTO mencakup barang, jasa, dan kekayaaan intelektual yang mengandung prinsip-prinsip utama liberalisasi.
Struktur dasar persetujuan WTO, meliputi:
Persetujuan-persetujuan di atas dan annexnya berhubungan antara lain dengan sektor-sektor  Pertanian, Sanitary and Phytosanitary/ SPS, Badan Pemantau Tekstil (Textiles and Clothing), Standar Produk, Tindakan investasi yang terkait dengan perdagangan (TRIMs), Tindakan anti-dumping, Penilaian Pabean (Customs Valuation Methods), Pemeriksaan sebelum pengapalan (Preshipment Inspection), Ketentuan asal barang (Rules of Origin), Lisensi Impor (Imports Licencing), Subsidi dan Tindakan Imbalan (Subsidies and Countervailing Measures), Tindakan Pengamanan (safeguards).
Untuk jasa (dalam Annex GATS):
Pergerakan tenaga kerja (movement of natural persons)

Prinsip-prinsip Sistem Perdagangan Multilateral
Dengan berdasarkan prinsip MFN, negara-negara anggota tidak dapat begitu saja mendiskriminasikan mitra-mitra dagangnya. Keinginan tarif impor yang diberikan pada produk suatu negara harus diberikan pula kepada produk impor dari mitra dagang negara anggota lainnya.
Negara anggota diwajibkan untuk memberikan perlakuan sama atas barang-barang impor dan lokal- paling tidak setelah barang impor memasuki pasar domestik.
Negara anggota diwajibkan untuk bersikap terbuka/transparan terhadap berbagai kebijakan perdagangannya sehingga memudahkan para pelaku usaha untuk melakukan kegiatan perdagangan.
STRUKTUR WTO
Badan tertinggi dalam struktur WTO adalah Ministerial Conference (MC)  yaitu pertemuan tingkat menteri perdagangan negara anggota WTO yang diadakan sekali dalam dua tahun. Ministerial Conference ini mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan atas semua hal-hal yang dirundingkan ditingkat bawah dan menetapkan masalah-masalah yang akan dirundingkan dimasa mendatang.
Struktur dibawah Ministerial Conference adalah General Council (GC) yang membawahi 5 badan yaitu :

Disamping itu terdapat pula 4 Komite yang karena sifat dan subtansinya atau  pengawasannya berada dibawah Ministerial Conference  dan General Council  yaitu :
(1) Komite Trade and Environment;
(2) Komite Trade and Development;
(3) Komite Balance of Payments dan
(4) Komite Budget-Finance and Administration.

Sedangkan dibawah General Council terdapat pula dua buah Komite dan badan internasional yang menangani perjanjian-perjanjian yang sifatnya plurilateral yaitu
(1) Komite Trade in Civil Aircraft dan
(2)  Komite Government Procurement, International Dairy Council dan International Meat Council.

PRINSIP DASAR WTO
Terdapat 5 (lima) prinsip dasar  GATT/WTO yaitu :
Prinsip ini diatur dalam pasal I GATT 1994 yang mensyaratkan semua komitmEn yang dibuat atau ditandatangani dalam rangka  GATT-WHO harus diperlakukan secara sama  kepada semua negara anggota  WTO (azas non diskriminasi) tanpa syarat. Misalnya suatu negara tidak diperkenankan untuk menerapkan tingkat tarif yang berbeda kepada suatu negara dibandingkan dengan negara lainnya.

Prinsip ini diatur dalam pasal II GATT 1994 dimana setiap negara anggota GATT atau WTO harus memiliki daftar produk yang tingkat bea masuk atau tarifnya harus diikat (legally bound). Pengikatan atas tarif ini dimaksudkan  untuk menciptakan  “prediktabilitas” dalam urusan bisnis perdagangan internasional/ekspor. Artinya suatu negara anggota tidak diperkenankan untuk sewenang-wenang merubah atau menaikan tingkat tarif bea masuk.

Prinsip ini diatur dalam pasal III GATT 1994 yang mensyaratkan bahwa suatu negara tidak diperkenankan untuk memperlakukan secara diskriminasi antara produk impor dengan produk dalam negri (produk yang sama) dengan tujuan untuk melakukan proteksi. Jenis-jenis tindakan yang dilarang berdasarkan ketentuan ini antara lain, pungutan dalam negri, undang-undang, peraturan dan persyaratan yang mempengaruhi  penjualan, penawaran penjualan, pembelian, transportasi, distribusi atau penggunaan produk, pengaturan tentang jumlah yang mensyaratkan campuran, pemrosesan  atau penggunaan produk-produk dalam negeri.

Prinsip ini diatur dalam pasal XI dan mensyaratkan bahwa perlindungan atas industri dalam negri hanya diperkenankan melalui tarif.

 Untuk meningkatkan partisipasi nagara-negara berkembang dalam perundingan perdagangan internasional, S&D ditetapkan menjadi salah satu prinsip GATT/WTO. Sehingga semua persetujuan WTO memiliki ketentuan yang mengatur perlakuan khusus dan berbeda bagi negara berkembang. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan-kemudahan bagi negara-negara berkembang anggota WTO untukmelaksanakan persetujuan WTO.

Keuntungan yang diperoleh dengan menandatangani WTO, khususnya bagi negara-negara berkembang
Dengan menandatangani dan meratifikasi WTO, tiap negara anggota mempunyai hak hukum untuk tidak diperlakukan secara diskriminasi  oleh anggota WTO lainnya baik perlakuan dibidang tarif, non tarif maupun  perlakuan secara nasional (national treatment). Disamping itu pula negara anggota WTO , khususnya negara berkembang berhak untuk memperjuangkan haknya, misalnya melalui penyelesaian sengketa WTO dan mempersalahkan kebijakan negara lain yang dianggap merugikan kepentingan negara-negara berkembang diberbagai forum relevan di WTO.
Berbagai persetujuan WTO dapat dipergunakan oleh negara-negara berkembang untuk melindungi kepentingan dalam negrinya  (pada umumnya industri dalam negeri) dari impor  yang terbukti mengandung unsur  “unfair”. Keuntungan lainnya yang penting adalah bahwa negara-negara berkembang ikut menentukan anggota perundingan perdagangan internasional dimasa mendatang yang selama ini sangat didominasi  negara maju. Hal ini tidak dimungkinkan apabila negara-negara berkembang tidak berada dalam  sistem WTO tersebut.

Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT).
Technical barriers to trade adalah tindakan atau kebijakan suatu negara yang bersifat teknis yang dapat menghambat perdagangan internasional dimana penerapannya yang dilakukan sedemikian rupa sehingga menimbulkan suatu hambatan perdagangan. Dengan demikian, suatu negara yang akan mengenakan standar untuk memberikan perlindungan kepada manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan, negara tersebut harus memberikan penjelasan yang merupakan jaminan bahwa proteksi yang diberikan tersebut bukan untuk melakukan proteksi.Prosedur dan disiplin tentang conformity assessment menjadi diperluas dan lebih mengena kepada sasaran.
Dalam persetujuan ini terdapat dua istilah yang berbeda yaitu “technical regulation” dan “standard”. Istilah “technical regulation” mencakup standar yang sifatnya mandatory  atau wajib, sedangkan “standard” dipergunakan hanya untuk standar yang sifatnya sukarela (voluntary). Kedua istilah tersebut tetap mencangkup mengenai masalah sifat-sifat produk (product characteristic), methode proses dan produksi (process and production method-PPM) yang mempunyai pengaruh terhadap sifat suatu produk, terminologi dan simbol serta persyaratan packaging labelling yang diterapkan atas produk dimaksud.

Preshipment Inspection (PSI)
Preshipment inspection adalah praktek-praktek yang dilakukan oleh negara yang memakai jasa perusahaan swasta untuk memeriksa barang-barang secara teliti dan rinci sebelum dikapalkan. Hal-hal yang diteliti/diperiksa sebelum dikapalkan adalah seperti harga, jumlah dan kwalitas dari barang impor. Pada dasarnya tujuan dari Preshipment Inspection ini adalah untuk mengamankan kepentingan negara dibidang keuangan seperti pelarian modal, penipuan (commercial fraud, over and under invoicing) dan penghindaran bea masuk serta untuk membantu mengatasi permasalahan kepabeanan karena kekurang mampuan aparat bea cukai untuk melakukannya.
Untuk menghindari agar praktek PSI tidak menimbulkan proteksi maka negara-negara WTO mewajibkan PSI untuk melakukan kegiatan tersebut dengan prinsip non diskriminasi, trasparan, memberikan perlindungan atas kerahasian bisnis, menghindari kelambatan pemeriksaan yang tidak perlu, menggunakan tata cara yang telah disepakati dalam melakukan verifikasi harga dan lain-lain.
Dalam hal terjadinya sengketa, terdapat tiga instansi yang menangani pengaduan yaitu :
  • Appeals procedures yaitu menetapkan satu atau beberapa orang pejabat yang ditunjuk dalam setiap kantor pemeriksa disetiap kota atau pelabuhan dimana kantor PSI berada dan bekerja khusus untuk melayani pengaduan dan berwewenang penuh untuk membuat keputusan secara cepat;
  • Independent review mechanism yaitu suatu prosedur yang disepakati para anggota dan dilaksanakan oleh Independent Review Body (IRD) bekerja sama dengan asosiasi PSI yaitu International Federation of Inspection Agency (IFFIA) dan,
  • International Chamber of Commerce (ICC).

PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG OLEH WTO
Prosedur penyelesaian sengketa dagang dalam WTO diatur dalam artikel XXII dan XXIII GATT 1994 dan Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of  Disputs (DSU). (Article XXII dan XXIII GATT 1994 dan Artikel 4 DCU).
Tergugat dalam tempo 10 hari (kecuali disepakati lain) harus menyampaikan jawaban atas permintaan tersebut. Jika dalam 10 hari tidak ada jawaban atau tidak melakukan konsultasi dalam jangka waktu 30 hari, pihak penggugat dapat meminta DSB  untuk dibentuk panel (Artikel 4.3 DSU).Disamping prosedur resmi, Dirjen WTO/GATT berdasarkan kapasitas sebagai pejabat tinggi WTO dapat menawarkan perdamaian kepada kedua belah pihak yang bersengketa.
Panel dibentuk oleh DSB atas dasar permintaan salah satu pihak yang bersengketa dan biasanya oleh pihak penggugat. Tim panel berfungsi membantu DSB untuk menganalisa, menilai dan membuat penafsiran terhadap persetujuan GATT-WTO dan mebuat rekomendasi dalam waktu 6 bulan dan dalam waktu 60 hari DSB akan melakukan pengesahan laporan tersebut. Pihak yang kalah dapat mengajukan banding (appeal) dan tiga orang hakim akan ditetapkan untuk menangani kasus tersebut. Keputusan badan banding ini dapat berisi penolakan atau merubah laporan panel dan membuat laporan tersendiri atau mengukuhkan laporan panel. Apabila panel dan banding menyimpulkan bahwa tindakan yang diambil oleh pihak tergugat bertentangan dengan persetujuan (GATT-WTO), maka rekomendasi panel dan banding akan meminta agar negara yang kalah segera menyesuaikan (adjusment) kebijakan perdagangannya dengan ketentuan-ketentuan WTO.

Laporan panel dan badan banding baru mempunyai kekuatan hukum yang tetap (legally binding) setelah disahkan dalam sidang DSB. Tujuan dari sistim penyelesaian sengketa WTO adalah agar semua anggota WTO mematuhi komitment yang telah ditandatangani dan diratifikasinya.
Dalam DSU-WTO diatur bahwa apabila rekomendasi dan keputusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (legally binding) tidak dilaksanakan sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan maka negara tergugat (negara yang kalah) akan diminta untuk memberikan kompensasi (ganti rugi). Segera setelah DSB mensahkan laporan panel atau banding, negara yang kalah harus membuat laporan tentang pelaksanaan keputusan DSB tersebut dan bila diperlukan dengan bantuan juri (arbitrator) sebagai pengawas. Di dalam DSU juga diatur mengenai cross retaliation apabila pihak yang kalah tidak melaksanakan keputusan DSB yang telah mensahkan keputusan appellate body.