Sabtu, 23 April 2011

MULTI NATIONAL CORPORATION (MNC)



    Dalam tahun-tahun belakangan ini, sejumlah isu-isu ekonomi-politik banyak dikemukakan secara lebih retorik berkenaan dengan hubungan antara negara dengan sebutan Multinational Corporation (MNC) ataupun Transnational Corporation (TNC), atau di Indonesia dikenal umum dengan nama Perusahaan Multi Nasional (PMN).
    Perdebatan besar antara pihak yang menolak dan menerima atau yang mempertahankan kehadiran MNC di negara-negara berkembang telah menghasilkan berbagai persetujuan, masukan konsep-konsep baru dan bahkan teori-teori pembangunan ekonomi yang diperkirakan cukup relevan dengan kondisi sebagian besar negara-negara dunia ketiga tersebut.
    Dalam studi ekonomi politik, MNC merupakan topik bahasan yang cukup sentral karena ia merupakan subjek khusus sebagai pelaku maupun sekaligus sebagai objek sasaran pelaku atau kajian pokok. Selain itu juga, isu mengenai MNC, melibatkan sejumlah perbincangan di negara-negara maju dan negara-negara berkembang satu sama lain telah merebak menjadi isu internasional, baik yang pro maupun yang kontra khasnya dalam interaksi menyangkut hubungan masing-masing Utara-Selatan. Dalam konteks studi ekonomi politik, MNC dapat dikategorikan sebagai subjek aktor bukan negara (non state actors) yang memiliki peran yang sangat luas dalam pola hubungan antar negara saat ini.
    Isu MNC juga cukup menyita perhatian para pakar ekonomi politik, karena tingkah lakunya yang biversi sebagai subjek maupun sebagai objek yang sering kali menimbulkan kontroversi sehingga menimbulkan beberapa hal yang unik dan bahkan perubahan dalam tatanan internasional khususnya ketika berlangsung sama ofensif damai hubungan Timur-Barat yang berlaku secara global. Richard Mansbach dalam karyanya The Web of World Politics: Non State Actors in Global System (1976); yang banyak membahas masalah-masalah MNC baik sebagai objek maupun sebagai objek, salah seorang pakar yang menjadi pemerhati masalah-masalah politik internasional, mengemukakan suatu asumsi menyangkut beberapa aspek penting dari realitas perubahan tatanan internasional yang dalam prinsip-prinsipnya dapat dipandangkan kedalam dua perspektif :


  1. Pertama, perspektif sistemik, diantaranya adalah:
    1. The primacy of economic and human pursuit yakni telah surutnya perhatian orang kepada isu-isu politik dan keamanan, sebagai akibat meluasnya perhatian terhadap perkembangan lingkungan ekonomi, seperti: tidak berfungsinya sistem moneter yang dikenal dengan nama Bretton Wood System, kelangkaan sumber daya alam dan manusia, fluktuasi harga minyak dan gas yang selalu berubah secara tajam, konflik Utara-Selatan, serta tuntutan terhadap Tata Ekonomi Dunia Baru (TEDB).
    2. Specifistry of Power, yakni perubahan-perubahan dalam sistem internasional ( sebagaimana pernah dialami pada masa lampau seperti menurunnya kekuatan Amerika Serikat, detente, pluralisme internasional (solidaritas dunia ketiga) yang berasal dari hakekat perubahan power dalam konteks tumbuhnya inter-dependensi (saling ketergantungan) internasioal dan kepentingan yang melengkapi.
    3. Inter-relations domestic and international politics, yakni sistem internasional kontemporer yang ditandai dengan perkembangan inter-relasi dan inter-dependensi antara politik domestik dan politik internasional.
  2. Kedua, Perspektif unit, diantaranya adalah:
    1. State ness as variable, yakni suatu pemikiran dari kaum tradisional tentang negara (uniform dan unitarism) tidak dapat dibenarkan lagi secara empirik. Sistem internasional diyakini sebagai telah bertengger diantara tertib dan anarki dan menghendaki penentuan atas aspek perubahan dan karakternya. Dengan demikian, atribut negara telah tidak relevan lagi.
    2. Significance of non-state actors, bahwa arena internasional diisi oleh beberapa aktor. Interaksi dari aktor-aktor sub nasional telah dapat melampaui batas-batas negara melalui bentuk-bentuk pengambilan keputusan internasional dan koordinasi atas aktifitas-aktifitas yang melintasi batas-batas negara baik bilateral maupun multilateral.
    Sehubungan dengan hal tersebut, realitas-realitas perubahan telah membuat para pakar ekonomi politik da khasnya studi hubungan internasional melakukan kritik-kritik dan telaahan baru yang memulainya dari asumsi tentang fakta yang tidak sesuai atau tidak relevan lagi dengan apa yang disebut paham realis berupa paradigma dan diduga akan terjadi bentuk anomali. Artinya adalah bahwa pemahaman-pemahaman yang bersifat global dalam interaksi dunia. Ini akan membuat mereka mengusulkan suatu pandangan baru yang disebut globalisme. Anggapan dasar utama dalam pandangan ini berangkat dari keyakinan telah berkurangnya peranan negara sebagai aktor dalam poltik dunia dan justru terjadi peningkatan peranan aktor bukan negara.
    Ide globalisasi yang berkembang menjadi pemikiran transnasionalisme kemudian menjadi dasar bagi pemahaman-pemahaman orang mengenai MNC, ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran Robert Keohane, Joseph S Nye, Richard Mansbach, Raymond Hopkind, dan lain-lain.

PENGERTIAN DAN DEFINISI MNC/PMN

    Perusahaan Multi Nasional (PMN) sesungguhnya belum memiliki definisi yang baku, dalam arti belum ada suatu kesatuan pandang dari para penstudinya, PMN sering kali diterjemahkan dari Multi National Corporation (MNC) ataupun Transnational Corporation (TNC), kadang-kadang konotasi kedua istilah tersebut dianggap memiliki pengertian yang sama, tetapi banyak pula pakar ekonomi politik yang berusaha membedakan masing-masing. MNC mengandung pengertian suatu perusahaan yang bergerak atau beroperasi di luar negerinya sendiri dengan saham yang terdiri dari beberapa negara (Lebih dari satu negara), sedangkan TNC pengertiannya adalah lebih luas dari pada hanya sekedar suatu perusahaan sebagaimana pengertian MNC. Luasnya arti TNC karena dilihat daripada aktifitasnya, besarnya operasi modal di luar negeri yang mencakup banyak negara dan memiliki manajemen yang bersifat komprehensif atau menjangkau skala perdagangan dan industri global.
    Dr. Sumantoro dalam tulisannya mengenai MNC/TNC memandang PMN dari berbagai aspek. Dari segi politik, fokus sentral kepada PMN sebagai subjek dalam hubungan internasional, terkait dengan kekuatan politiknya di tingkat nasional dan internasional, serta pola manajemennya yang terpusat sehinnga membawa pengaruh pada penguasaan informasi sebagai kekuatan politik, pun kekuatan ekonomi bagi perusahaan tersebut terhadap pihak yang dihadapinya. Dari segi hukum, fokus sentralnya terletak pada PMN sebagai badan hukum yang dapat merupakan cabang, usaha patungan atau perusahaan yang dimiliki umum (public company). Juga struktur pemilikan usaha, anggaran dasar perusahaan, bentuk hukum pengelolaannya serta penyelesaiannya jika ada sengketa hukum. Hal yang terakhir ini juga terkait dengan masalah yuridiksi hukum negara penerima modal. Dari segi ekonomi, fokus sentralnya pada aspek-aspek faktor produksi, modal keahlian manajemen dan keahlian teknologi, serta praktek-praktek usaha yang terkait dengan persaingan, besranya pasar, monopoli, dan sebagainya.
    Pandangan seperti itu pada dasarnya mengambil sejumlah definisi yang dikemukakan oleh beberapa pakar hukum seperti: Clive Schmithoff, definisi yang dikemukakan oleh kalangan PBB /Group of Eminet Persons, kalangan OECD, dan Dr. Ignaz.S. Hohenveldern. Dari sejumlah definisi yang beraneka ragam itu, pada prinsipnya Sumantoro mengajukan isu yang menjadi pusat perhatiannya dari masalah-masalah PMN, khususnya di negara-negara penerima modal yang dipahami sebagai:
  1. Perusahaan cabang, yang merupakan cabang yang tidak terpisahkan dengan PMN induknya.
  2. Perusahaan pemilikan subordinari, yang merupakan anak perusahaan yang berbadan hukum sendiri. Saham perusahaan ini sepenuhnya dimiliki oleh perusahaan induk.
  3. Perusahaan patungan (joint venture) merupakan perusahaan yang saham-sahamnya dimiliki oleh dua atau lebih perusahaan sebagai partner.
  4. Perusahaan yang berkedudukan lokal dan sebagian sahamnya dipegang oleh masyarakat (perusahaan yang go public atau public company). Bentuk lainnya yang pembentukannya didasrkan pada ketentuan perundangan yang ada, seperti bidang perbankan, pertambangan minyak dan gas bumi dan perdagangan atau jasa lainnya.
    Sementara itu ada beberapa definisi lain yang dikemukakan oleh penulis-penulis ekonomi politik, diantaranya adalah Stephen Gilland dan David Law. Sedangkan dari beberapa pandangan lainnya tentang pengertian, definisi, dan istilah yang digunakan umum bagi PMN ini banyak disebut-sebut sebagai: direct invesment, international bussiness, the international firm, the international corporated group, the multinational enterprise, la grande enterprise plurinationale, la gan unite plurinationale dan the US corporate monster, serta sejumlah nama lain untuk menyebut hal serupa. Sementara itu, apabila mengambil pemahaman menurut penggolongannya. Prof. John Dunning, memberikan beberapa kriteria membedakan PMN atas empat bentuk, yaitu:
  1. Multinational Producting Enterprise (MPE), yakni perusahaan yang memiliki dan mengontrol berbagai fasilitas produksi lebih dari satu negara.
  2. Multinational Trade Enterprise (MTE), yaitu semata-mata bergerak dalam bidang perdagangan dengan menjual barang yang diproduksi di dalam negeri, langsung kepada badan usaha atau orang di negeri lain.
  3. Multinational Internationally owned enterprise (MOE).
  4. Mutinational (Financial) controlled enterprise (MCE); sebagaimana MOE, MCE yang diawasi oleh lebih dari satu negara.
    Menurut penggolongan yang dilakukan oleh Dunning ini, sebagian besar perusahaan raksasa yang tergolong sebagai MOE seperti contohnya pada PMN Unilever, Royal Dutch/Shell, dan lain-lain. Dan apabila melihat kepada pengertian dari definisi yang diajukan oleh Sanjaya Lall ataupun Paul Streeten yang pada prinsipnya menekankan masalah-masalah PMN dalam perspektif ekonomis, organisasional dan motivasional. Pemahaman secara ekonomis adalah memberi penekanan kepada segi ukuran, penyebaran geografis dan tingkat keterlibatannya di luar negeri. Dari sini kemudian diperoleh suatu pengertian umum mengenai PMN yang berbeda dengan:
  1. Perusahaan besar domestik yang sedikit melakukan investasi di luar negeri.
  2. Perusahaan domestik yang mungkin melakukan investasi di luar negeri tetapi dalam unit ekonomi yang lebih kecil.
  3. Perusahaan besar yang melakukan investasi di luar negeri tetapi hanya di satu atau dua negara saja.
  4. Investor besar portofolio yang tidak berusaha mengontrol investasinya dan mengambil resiko kewiraswastaan.
    Uraian ringkas mengenai perkembangan transnasional proses pertumbuhan PMN/ transnasional mulai tampak sejak lahirnya revolusi industri di Inggris dan kemudian berkembang melalui proses pentahapan lebih lanjut daripada kapitalisme modern yang mempengaruhi jalannya revolusi industri itu sendiri. Kegiatan perdagangan internasional yang memunculkan korporasi-korporasi bisnis yang melewati batas-batas negara, berusaha memakslimalkan aktifitas mereka  dalam rangka mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya dimanapun adanya pergerakan modal berlangsung tanpa banyak menghiraukan dampak buruk bagi negara dimana mereka menanamkan modalnya. Contoh klasik yang pernah dialami di Indonesia berlangsung sejak zaman kolonial ketika VOC mulai mengeksploitasi nusantara dankemudian dilanjutkan oleh pemerintah Hindia Belanda sampai menjelang Perang Dunia II. Pada masa sebelum Perang Dunia II (terutama dalam tahun 1930-an), aktifitas PMN khususnya di negara-negara jajahan mulai menurun karena situasi internal yang berlangsung di negara-negara pusat PMN yang kebanyakan berada di Eropa Barat dan Amerika Serikat, terjadi krisis ekonomi yang hebat. Beberapa indikator lain menunjukan adanya peningkatan perbedaan keinginan konsumen, standar industri yang diciptakan pemerintahdalam perdagangan internasional karena keadaan daripada perekonomian dunia yang sedang mengalami depresi. Ciri-cirinya antara lain:
  1. Terdapat sistem dominasi nasional.
  2. Sistem dasarnya adalah desentralisasi.
  3. Pendirian PMN sedikit (bahkan tidak) diarhkan/dikontrol lagi oleh negara induk korporasinya.
  4. Model persetujuan-persetujuan ialah berbentuk mother and daughter.
    Pasca  Perang Dunia II, negara masih merupak aktor yang dominan dalam hubungan internasional karena adanya atribut kedaulatan, apalagi banyaknya berdiri negara-negara baru merdeka yang sangat nasionalistik, paradigma yang sering tampak adalah state centric yang dikembangkan oleh mahzab realisme. Asumsi dasar yang diajukan oleh para penganut mahzab ini menerangkan bahwa negara yang dalam bentuk modernnya dipandang sebagai unit politik yang paling fundamental dalam sistem dunia (World System). Oleh sebab itu, adalah memungkinkan untuk menganalisis secara luas politik dunia (World Politics) dalam pengertian hubungan antar-negara (inter-state relations).







KEBERADAAN PMN DI NEGARA-NEGARA BERKEMBANG

    Negara berkembang seperti yang kita kenal sekarang ini adalah negara-negara yang kebanyakan merdeka pasca Perang Dunia II. Persoalan utama yang dihadapi setelah lepas dari kolonialisasi adalah masalah pemabangunan khususnya pembangunan ekonomi untuk mencapai kesejahteraan dan pertumbuhan yang tinggi. Dalam pembangunan ekonomi di negara-negara sedang berkembang, umumnya terdapat dua pendekatan yang ditempuh para agen-agen pembangunan.
    Yang pertama adalah pendekatan ortodoks. Dalam pelaksanaan strategi pembangunan yang dilakukan adalah mengoperasikan suatu bentuk sistem usaha bebas, inisiatif dan pemilikan pihak swasta, dan suatu pasar bebas yang berfungsi dalam pemerintahan yang stabil. Pendekatan ini banyak mengadopsi konsep-konsep daripada kapitalisme klasik sebagaimana pernah dialami oleh Eropa Barat pada saat memulai proses pembangunan menjadi negara-negara industri baru. Beberapa negara berkembang yang menerapkan pendekatan ortodoks ini diantaranya adalah: Brazil, Meksiko, Taiwan, Korea Selatan, Singapura, Hongkong, dan Filipina.
    Kedua, disebut dengan pendekatan radikal. Dalam strategi pembangunan yang dilakukan, banyak mengadopsi konsep-konsep dan pemikiran radikalis yang berasal dari sosialisme, marxisme/komunisme atau model-model yang diperbaharui daripada Neo Marxisme. Sementara itu ada pula konsep yang dipandang kiri (Left Concept) tanpa radikalis dengan model jalan tengah seperti yang diterapkan beberapa negara moderat yakni sosial-demokrat; dimana paham-paham yang diadopsi tidak sepenuhnya kapitalis tetapi tidak pula Marxisme. Untuk konsep radikal yang diajukan pada umumnya menganut dasar pemikiran yang banyak berlawanan dengan konsep/teori kapitalisme; seperti usaha pemutusan hubungan dalam ikatan dengan kapitalisme barat. Negara-negara berkembang disarankan untuk tidak menerima investasi dan bantuan (pinjaman) luar negeri yang bersumber dari negara-negara barat. Sebaliknya, negara-negara berkembang harus mampu mengendalikan sendiri ekonominya. Negara berkembang harus menegakan kedaulatan para buruh atas alat-alat produksi di dalam negeri dengan merasionalisasikan industri-industri asing maupun domestik. Negara berkembang juga harus menjalankan program-program pembangunannya secara merata melalui lembaga-lembaga perencanaan pusat. Strategi pembangunan yang dijalankan harus diarahkan kepada usaha untuk mencapai swasembada dan untuk menyingkirkan penetrasi ekonomi luar negeri. Beberapa negara contoh yang menerapkan pembangunan model ini diantaranya adalah: Republik Rakyat Cina (RRC), Cuba, Yugoslavia (sebelum terpecah), dan Vietnam. Namun demikian, menjelang akhir dekade 1970-an, terjadi perombakan reformasi dalam model pembangunan ekonomi yang dilaksanakan dimana unsur-unsur keterbukaan semacam liberalisasi dilakukan untuk menarik investor asing dan bantuan internasional, khususnya di Cina dan Vietnam.
    Pada pendekatan yang pertama, masuknya unsur PMN sebagai bagian daripada program berencana pembangunan negara-negara berkembang merupakan salah satu hal yang sangat diharapkan dan bahkan dianggap sebagai agen pembangunan. Dan sebaliknya pada pendekatan kedua (terkecuali setelah dilakukan suatu reformasi pembangunan), masuknya unsur PMN sangat tidak disukai karena dipandang sebagai unsur eksploitator, dan bahkan beberapa negara tertentu yang berpaham sangat radikal, PMN dilarang beroperasi misalnya Myanmar. Di negara seperti India yang dianggap menerapkan sosial-demokrat atau salah satu negara contoh yang menerapkan pendekatan campuran anatar ortodok dan radikal, kehadiran PMN justru sangat dicurigai, tetapi sosial demokrat di Swedia, Finlandia, dan beberapa negara Eropa Tengah, kehadiran PMN dan investor asing justru merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perencanaan pembangungan mereka.
    Kegiatan PMN secara global banyak menimbulkan pertentangan dari negara-negara Dunia Ketiga. Pertentangan itu terletak pada kondisi dilematis, PMN dapat bergerak dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan memaksimalkan manfaat PMN dalam bidang sosial pada satu sisi, dan sisi lain adanya bukti ekspasionisme modal PMN terhadap negara setempat yang banyak merugikan. Namun bagaimanapun terjadinya pertentangan anatara PMN dengan negara penerima modal tidak selamanya disebabkan oleh sifat ekspasionis kapital PMN, juga disebabkan oleh berbagai kendala dan masalah yang terjadi di negara-negara penerima modal itu sendiri. Operasi PMN di negara-negara penerima modal yang kebanyakan adalah negara berkembang juga disesuaikan dengan kebijakan penanaman modal dari negara bersangkutan. Tetapi adakalanya terjadi sesuatu yang paradoks diantara keduanya, umumnya paradoks yang nampak di negara berkembang adalah dalam bentuk kesulitan menghadapi aktifitas PMN yang secara empirik jauh memiliki kemampuan transaksi bisnis, ketimbang negara penerima modal. Misalnya:
  1. Sumber modal PMN: bank-bank di negara berkembang lebih menyukai memberikan pinjaman atau berbagai fasilitas kredit maupun garansi bank kepada perusahaan besar dan bonafid yang memiliki kegiatan luas seperti PMN dibanding harus memberikan kredit kepada perusahaan lokal yang tidak memiliki aset internasional.
  2. Akibat pemanfaatan teknologi: pengunaan teknologi maju/modern yang diimpor dari negara-negara maju ataupun asal PMN diharapkan oleh negara berkembang dapat memodernisasi mereka sehingga dapat mempersempit kesejangan teknologi antara negara maju dan berkembang. Namun pada kenyataannya terdapat conflict of interest dalam pertentangan transfer teknologi. Posisi PMN dalam kenyataan ini juga lebih kuat dibanding negara berkembang.
  3. Akibat iklan pemasran PMN: salah satu usaha PMN untuk menguasai pasar domestik adalah dengan jalan pemasangan iklan yang mendominasi sarana tersebut bagi perusahaan lokal, terdapat konsekuensi negatf dalam hal ini, diantaranya: mengalihkan urusan prioritas konsumen, dan juga mengembangkan imperialisme gaya hidup borjuasi konsumtif atau sekurang-kurangnya infiltrasi kebudayaan setempat, yang memberikan suatu ego massa terhadap adanya semacam ketidakpuasan pada kebutuhan berbagai produk yang ditawarkan pasar.
  4. Kekuatan mengawasi sumber: kekuatan yang dimiliki PMN terletak pada kemampuannya untuk mengawasi sumber-sumber yang mendatangkan keuntungan yang sebesar-besarnya meluas ke seluruh dunia. Oleh karena itu PMN selalu berusaha untuk mencapai global factory, global money market, global shopping centre.

POLA HUBUNGAN DAN PENGAWASAN NEGARA ATAS PERUSAHAAN MULTINASIONAL (PMN)

    Bentuk hubungan antara MNC dengan pemerintah negara penerima modal yang umumnya terdiri dari negara sedang membangun dapat dicermati dalam tiga bentuk corak pola hubungan:
  1. Pertama, hubungan ketergantungan, hegemoni, dan kepemimpinan yang memberikan keuntungan terbesar bagi PMN. Dalam hubungan ini, terdapat beberapa unsur yang mengikutinya, antara lain:
    1. Keterikatan negara penerima modal terhadap PMN yang berlebihan.
    2. Memiliki posisi tawar yang lemah.
    3. Integritas atas proteksi yuridis formal yang kurang memadai.
    4. Kapabilitas modal dan teknologi yang lemah.
    5. Kebutuhan akan pemenuhan produksi barang yang sangat tinggi.
    6. Kedudukan negara yang berstatus terbelakang, miskin, wilayah pinggiran.
  2. Kedua, hubungan saling ketergantungan, kesederajatan, dan akomodatif yang dianggap sama-sama menguntungkan antara PMN dan negara penerima modal. Dalam hubungan ini terdapat beberapa unsur yang mengikutinya, antara lain:   
    1. Keterikatan yang longgar diantara PMN dan negara penerima modal.
    2. Memiliki posisi tawar yang cukup memadai.
    3. Integritas atas proteksi yuridis formal yang kuat.
    4. Memiliki potensi kapabilitas yang kuat dalam banyak aspek.
    5. Kebutuhan produksi dan kemampuan pendistribusian yang seimbang dengan tingkat yang diperlukan masyarakat.
    6. Kedudukan negara yang berstatus sedang membangun atau bahkan negara industri baru atau suatu wilayah semi maupun transisi pusat dan pinggiran.
  3. Ketiga, bentuk hubungan penolakan, pertentangan, atau konflik. Pola hubungan ini biasanya terjadi sebagai akibat ketidakselarasan (ketidakharmonisan) yang berlangsung dari adanya kerja sama yang terjadi dari hubungan pertama, dan kedua. Indikatornya antara lain ialah:
    1. Keterikatan kuat berubah menjadi keterikatan longgar.
    2. Keterikatan longgar berubah menjadi leadership.
    3. Integritas yuridis formal yang interventif dan proteksionisme berlebihan.
    4. Hegemonisme PMN yang melanggar norma-norma kultural dan politik.
    5. Ketidaksepahaman atas berbagai kepentingan masing-masing secara kontemporer.
    6. Antiklimaks pola hubungan akibat situasi domestik negara penerima modal yang mengalami perubahan besar (revolusi, transformasi/ reformasi sistemik).
    Dari ketiga bentuk corak pola hubungan yang dicerminkan oleh beberapa unit analisisnya tersebut, maka hubungan kesederajatan adalah yang palin dikehendaki oleh negara penerima modal, karena adanya keseimbangan kepentingan. Namun hal ini juga banyak bergantung kepada proses terjadinya hubungan-hubungan yang berlangsung ataupun asal-usul penerimaan modal asing, cara-cara kontrak kerja sama dan persoalan kemampuan negara bersangkutan melakukan pengawasan atas tindak-tanduk PMN dalam aktivitas mereka melakukan produksi, distribusi dan sistem sirkulasi keuangan (modal) termasuk kemungkinan-kemungkinan terjadinya pelarian modal ke luar (capital flight) yang dapat merugikan kepentingan negara.       
























DAFTAR PUSTAKA

Baylis, John dan Steve Smith. 1998. The Globalization of World Politics. New York: Oxford University Press.
Ikbar, Yanuar.2002. Ekonomi Politik Internasional: Studi Pengenalan Umum. Bandung: Universitas Padajadjaran
Krugman, Paul.R dan Maurice Obstfeld. 1992. Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakkan. (Buku 1 dan 2).Terj: Faisal Basri. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Perwita, Anak Agung Banyu dan Yanyan Mochamad Yani. 2005.Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: Rosda
Salvatore, Dominick. 1995. Ekonomi Internasional. Jakarta : Erlangga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar