Jumat, 22 April 2011

PENDEKATAN REFLEKTIVIS DAN KONSTRUKTIVIS DALAM TEORI INTERNASIONAL

 PENDAHULUAN

‘We are stranded between old conceptions of political conduct and a wholly new conception, between the inadequacy of the nation-state and the emerging imperative of global community’.
Henry A. Kissinger,
U.S. Secretary of State, 1975
 Studi Hubungan Internasional terus-menerus mengalami perkembangan, antara lain dengan munculnya perspektif-perspektif tertentu dalam hubungan internasional. Dalam perkembangan sejarah hubungan internasional, perspektif-perspektif yang ada tersebut mengalami perdebatan-perdebatan, namun perdebatan antara satu perspektif  dengan yang lainnya tidak menghancurkan salah satu dari perspektif-perspektif tersebut, malah sebaliknya saling mengembangkan, dan perspektif-perspektif tersebut akan selalu digunakan dalam mengkaji hubungan internasional sebagai suatu kajian ilmu tertentu.
Secara umum, ada empat perdebatan yang pernah terjadi dalam  sejarah perkembangan studi Hubungan Internasional, yaitu:
  1. Perdebatan antara pendekatan realisme dengan pendekatan liberalisme. Berlangsung dari tahun 1930-an sampai dengan 1940-an (pasca Perang Dunia ke-2).
  2. Perdebatan antara aliran pemikiran tradisional dengan aliran pemikiran saintifik. Berlangsung sekitar tahun 1950-an.
  3. Inter-paradigm debate. Berlangsung pada tahun 1960-an sampai dengan tahun 1980-an.
  4. Perdebatan antara aliran positivisme dan post-positivisme. Perdebatan ini terjadi pasca perang dingin atau sekitar tahun 1990-an.
Pertentangan atau perdebatan antara para pendukung aliran behavioral atau saintifik dengan para pendukung studi tradisonal yang bersifat historis dan legalistik selama dua dekade telah mencirikan bidang studi Hubungan Internasional. Memang kebanyakan dialog antara tradisionalis-behavioralis ini berkisar pada relevansi teori hubungan internasional bagi para policy maker (pembuat kebijakan) yang berpusat pada manfaat atau kegunaan kedua pendekatan tersebut.
Secara singkat kita akan melihat—dimulai dengan perdebatan pada tahun 1970-an antara aliran idealis, realis dan behavioralis—bahwa perdebatan mereka sudah mulai agak reda. Pendekatan yang lebih baru—yang disebut pendekatan post-behavioral (pasca perilaku)—menggunakan orientasi yang lebih eklektik dan lebih toleran, yang berusaha memodifikasi dan me-reoreintasi studi Hubungan Internasional yang terlepas dari hirauan-hirauan yang bersifat tradisional. Misalnya diplomasi dan peperangan antar pemerintah negara, dan yang menganggap planet bumi sebagai komunitas atau masyarakat yang sedang terancam, di mana institusi global baru perlu dibentuk untuk mempertahankan kelangsungan hidup komunitas tersebut paling tidak sampai abad 21.


PENDEKATAN REFLEKTIVIS DAN KONSTRUKTIVIS DALAM TEORI INTERNASIONAL

Konstruktivisme dan the ‘English School’
Tulisan-tulisan yang menetapkan pemikiran konstruktivisme sebagai alternatif radikal terhadap teori hubungan internasional konvensional antara lain tulisan Friedrich Kratochwil (1989), Nicholas Onuf (1989), dan Alexander Wendt (1987, 1992). Pemikiran pokok dari konstruktivis dapat disampaikan melalui pembedaan mendasar antara brute facts atau fakta kasar mengenai dunia dan fakta-fakta sosial yang eksistensinya bergantung pada konvensi yang ditetapkan secara sosial (Searle 1995). Menurut kaum konstruktivis, identitas memainkan peranan yang penting. Dengan pemikiran yang sama, terdapat kemungkinan bahwa dalam kerangka kerja yang anarkis, norma-norma dapat muncul dan terbentuk.
The English School, dinamakan demikian karena sebagian besar pengembangannya dilakukan di Inggris, terdiri dari sekumpulan sarjana, antara lain Martin Wight, Hedley Bull, Adam Watson, R. J. Vincent, James Mayall, Robert Jackson, Tim Dunne, dan N. J. Wheeler. Karya yang penting dalam pendekatan ini adalah The Anarchical Society dari Hedley Bull (1977/1995). Fokus pendekatan ini adalah mengenai dunia yang tersusun atas negara-negara, dan bukan atas kategori universal seperti kemanusiaan. Dalam interaksinya, negara-negara membentuk suatu masyarakat di mana terdapat norma-norma yang mengikat, yang berasal dari negara-negara itu sendiri.

 

Teori Eksplanatoris/Konstitutif dan Teori Foundational/Anti-Foundational

  • Tiga teori utama yang menyusun perdebatan interparadigma didasarkan pada sekumpulan asumsi positivis, yaitu penyangkalan gagasan bahwa teori-teori sosial dapat menggunakan metodologi yang sama dengan teori-teori pengetahuan alam, bahwa fakta dan nilai dapat dipisahkan, bahwa fakta yang netral dapat memutuskan mana yang merupakan kebenaran, dan bahwa dunia sosial memiliki keteraturan yang dapat ditemukan oleh teori.
  • Sejak akhir tahun 1980-an, terdapat gerakan menentang positivisme dengan munculnya pendekatan-pendekatan yang semakin mengarah pada asumsi-asumsi konstitutif dan anti-foundational.
  • Pada masa kini, terdapat tiga posisi teoritis, yaitu teori rasionalis (versi terkini realisme dan liberalisme), reflektivis yang merupakan teori post-positivis, dan konstruktivis sosial yang mencoba menjembatani keduanya.

Teori Reflektivis

Pendekatan kontemporer dalam HI disebut juga pendekatan reflektivis. Berikut adalah bagan mengenai perdebatan pendekatan mainstream dan kontemporer/reflektivisme:


       


Teori normatif berhubungan erat dengan nilai-nilai dan preferensi. Tidak seperti teori empiris, kebenaran dari pernyataan-pernyataannya tidak perlu melalui pengujian empiris. Teori ini  berhubungan dengan apa yang seharusnya, bagaimana seharusnya dunia diatur, dan nilai-nilai apa saja yang harus dipilih oleh para pembuat keputusan.
  • Normative theory diabaikan selama beberapa dekade akibat dominasi positivisme yang menyebutnya sebagai teori yang ‘sarat nilai’ dan tidak ilmiah.
  • Dalam sepuluh tahun terakhir normative theory kembali menarik perhatian dan kini telah banyak diterima bahwa seluruh teori memiliki asumsi-asumsi normatif, baik secara eksplisit maupun implisit.
  • Terdapat pemisahan dalam normative theory, yaitu antara kosmopolitanisme yang menyatakan bahwa pemikul hak dan kewajiban adalah individu, dan komunitarianisme yang menyatakan bahwa yang memikul hak dan kewajiban adalah negara.
  • Chris Brown mengidentifikasi tiga wilayah perdebatan dalam normative theory kontemporer: otonomi negara, etika penggunaan force, dan keadilan internasional.
  • Dalam dekade terakhir, isu-isu normatif telah menjadi semakin relevan terhadap perdebatan mengenai kebijakan luar negeri atau bagaimana menanggapi intervensi kemanusiaan.

Feminisme memiliki berbagai macam aliran dan merupakan teori yang sangat luas. Teori feminis kontemporer tidak hanya terfokus pada kehidupan perempuan, melainkan juga pada analisis mengenai kategori gender yang dikonstruksi  secara sosial dan kultural. Banyak kajian feminis yang memusatkan perhatian pada diskriminasi dan eksklusif, namun kaum feminis tidak memandang perempuan sebagai korban, melainkan melihat juga bagaimana perempuan menciptakan perubahan positif dalam posisi sosial mereka.
Feminisme menjadi berpengaruh dalam teori Hubungan Internasional sejak tahun 1980. Kajian feminis telah memberi kontribusi berharga dalam berbagai wilayah teori Hubungan Internasional, sekaligus menantang pemikiran-pemikiran konvensional mengenai apa yang disebut sentral atau marjinal dalam HI. Pandangan utama dalam feminisme mungkin adalah bagaimana pemisahan antara wilayah publik/privat menghalangi penglihatan tentang hubungan kekuasaan. Dari perspektif feminisme, wilayah privat bukan hanya bersifat politis, melainkan juga internasional.
Terdapat empat varian utama dalam teori feminis, yaitu feminis liberal, Marxis/sosialis, post-modern, dan feminis standpoint.
  • Feminisme liberal memandang terdapatnya peran perempuan dalam politik dunia dan mempertanyakan mengapa peran tersebut dipinggirkan. Kaum feminis liberal menginginkan kesempatan yang sama bagi perempuan seperti yang diberikan kepada laki-laki.
  • Feminisme Marxis/sosialis memusatkan perhatian pada sistem kapitalis internasional. Mereka memandang penindasan perempuan sebagai produk kapitalisme, di mana mereka memandang kapitalisme dan patriarki sebagai struktur yang harus dikalahkan oleh kaum perempuan untuk mendapatkan kesetaraan.
  • Feminisme postmodern memusatkan perhatian pada gender yang menentang posisi kaum perempuan. Mereka mempelajari cara-cara feminitas dan maskulinitas dikonstruksi, dan terutama tertarik pada bagaimana politik dunia menyusun tipe-tipe tertentu mengenai laki-laki dan perempuan.
  • Feminisme standpoint, seperti J. Ann Tickner, ingin mengoreksi dominasi lelaki dalam pengetahuan kita mengenai dunia. Ia melakukannya dengan menjelaskan enam prinsip objektif yang dikemukakan oleh Morgenthau berdasarkan versi feminis tentang dunia.

Critical theory tidak dikembangkan dalam Hubungan Internasional, namun menjadi berpengaruh sejak tahun 1980-an hingga saat ini. Critical theory beranggapan bahwa terdapat hubungan yang erat antara teori dan praktik. Para tokohnya berpendapat bahwa pengetahuan merupakan sebuah ideologi dan bukan kebenaran, meskipun beberapa orang percaya bahwa mungkin  dilakukan negoisasi atau menyepakati proposisi tertentu. Critical theory merupakan proyek ‘modern’ karena bertujuan untuk mencapai emansipasi manusia. Namun, teori ini juga mengakui dan mencari cara untuk mengatasi sisi gelap dari modernitas.
Banyak tokoh critical theory mengenali bahwa penindasan berdasarkan kelas bukan satu-satunya bawaan dari masyarakat kapitalis. Terdapat pula penindasan berdasarkan etnisitas, gender, kebangsaan, dan lain-lain.  Para critical theorists kontemporer memandang kekuatan-kekuatan counter-hegemonic sebagai gerakan sosial baru seperti gerakan perempuan dan lingkungan dan mencari agen perubahan sosial yang potensial di luar kelompok pekerja (buruh) industrial. Critical theory menyadarkan kita akan sifat kehidupan manusia dan hubungan internasional yang tidak selamanya tetap atau tidak dapat diubah.
Berikut adalah poin-poin penting dari critical theory :
  • Critical theory berakar pada Marxisme dan dikembangkan dari Mahzab Frankfurt pada tahun 20-an. Proponen terkenalnya setelah tahun 1945 adalah Jurgen Habermas. Teori ini juga berkembang dari Marxis Italia, Antonio Gramsci.
  • Dalam artikelnya yang berpengaruh pada tahun 1937, Max Horkheimer membedakan antara teori tradisional dan critical theory.
  • Robert Cox menulis dilema antara problem solving theory dan critical theory. Teori yang pertama menerima dunia begitu saja dan memperkuat distribusi kekuasaan yang telah ada. Yang kedua mempelajari bagaimana terbentuknya distribusi kekuasaan yang telah ada tersebut.
  • Robert Cox berargumen bahwa teori adalah selalu untuk seseorang dan untuk tujuan-tujuan tertentu.
  • Critical theory memandang struktur sosial memiliki dampak yang nyata, yang oleh positivisme dianggap tidak nyata karena tidak dapat diamati secara langsung.
  • Terdapat kontribusi-kontribusi lain yang diberikan oleh critical theory, terutama karya Linklater dan studi keamanan kritis.
Asumsi-asumsi critical theory :
  • Sifat dasar manusia tidak tetap maupun esensial, melainkan dibentuk oleh kondisi-kondisi sosial yang berlangsung dalam periode waktu tertentu.
  • Individu (subjek) dapat dikelompokkan ke dalam kolektivitas yang dapat dikenali, yang kemudian dikatakan memiliki kepentingan-kepentingan yang nyata (konkrit).
  • Tidak ada fakta-fakta mengenai dunia. Nilai-nilai kita mempengaruhi penafsiran dan penjelasan kita mengenai dunia.
  • Pengetahuan memiliki hubungan yang erat dengan kepentingan manusia dalam emansipasi.
  • Di luar perbedaan-perbedaan, seperti ras, etnisitas, gender, dan kelas, seluruh manusia berbagi kepentingan yang sama untuk mencapai emansipasi. Oleh karena itu, critical theory adalah doktrin yang universal.

  • Historical sociology memusatkan perhatian pada bagaimana masyarakat-masyarakat berkembang menjadi bentuk mereka masing-masing.
  • Historical sosiology kontemporer memfokuskan diri terutama pada bagaimana negara-negara berkembang sejak zaman pertengahan. Pada dasarnya adalah studi mengenai interaksi di antara negara-negara, kelas-kelas, kapitalisme, dan perang.
  • Charles Tilly memandang bagaimana tiga bentuk negara utama pada masa pertengahan pada akhirnya berubah menjadi satu bentuk, yaitu negara nasional. Ia berargumen bahwa hal yang penting mengenai negara nasional adalah kemampuannya mengobarkan perang.
  • Michael Mann telah mengembangkan model yang kuat mengenai sumber-sumber kekuasaan suatu negara yang dikenal sebagai model IEMP.
  • Historical sosiology menantang neo-realisme dengan menunjukan bahwa negara bukanlah suatu organisasi yang secara fungsional sama, melainkan berubah dari waktu ke waktu. Seperti halnya realisme, teori ini juga terlalu memfokuskan diri pada perang.

Postmodernisme menantang banyak gagasan sentral dari Hubungan Internasional. Postmodernisme tidak hanya menandai suatu periode waktu setelah periode modern, melainkan sebuah cara berpikir mengenai konsekuensi-konsekuensi dari pemikiran dan praktik-praktik modern.
Di luar asal mulanya yang bersifat kekiri-kirian, postmodernisme sering dituduh sebagai pendukung konservatisme.
Postmodernisme mempelajari hubungan power dan knowledge yang berulang-ulang. Kaum postmodernis memfokuskan diri untuk menyingkap asumsi-asumsi yang tersembunyi melalui proses kritik. Para penulis postmodernisme yang berpengaruh antara lain Jacques Derrida, Michel Foucault, Martin Heidegger, dan F. Nietzhsche. Kaum postmodernisme menggunakan berbagai metode, termasuk metode geneologis yang lebih menyoroti singularitas dalam peristiwa-peristiwa daripada trend untuk menyingkap pemikiran bahwa seluruh sejarah ditulis oleh yang berkuasa.
Hal-hal penting mengenai postmodernisme:
  • Lyotard mendefiniskan postmodernisme sebagai skeptisme terhadap metanaratif, yang berarti menolak kemungkinan bahwa dasar-dasar untuk menetapkan kebenaran suatu pernyataan berada di luar sebuah dialog.
  • Foucault memfokuskan diri pada hubungan pengetahuan dan power yang memandang keduanya sebagai sesuatu yang disusun bersama-sama. Hal ini mengimplikasikan bahwa tidak akan ada kebenaran di luar rezim kebenaran: Bagaimana bisa sejarah memiliki kebenaran jika kebenaran memiliki sejarah?
  • Foucault mengajukan pendekatan genealogis dalam memandang sejarah, dan pendekatan ini menyingkap bagaimana rezim-rezim kebenaran tertentu telah mendominasi yang lain.
  • Derrida berargumen bahwa dunia adalah seperti sebuah teks yang tidak dapat dipahami begitu saja, melainkan harus ditafsirkan. Ia memandang bagaimana teks-teks tersebut dikonstruksi dan mengajukan dua cara utama untuk mengupasnya, yaitu dekonstruksi dan double reading.
  • Pendekatan-pendekatan postmodern diserang karena terlalu teoritis dan tidak banyak berhubungan dengan dunia nyata, namun postmodernisme menanggapinya dengan berargumen bahwa tidak ada dunia nyata dalam dunia sosial melainkan telah ditafsirkan oleh kita.
Asumsi-asumsi postmodern:
  • Sifat dasar manusia bukan sesuatu yang tidak dapat diubah. Manusia bersifat terbuka dan fleksibel sebagai hasil dari praktik-praktik subordinasi dan resistensi.
  • Nilai-nilai, kepercayaan, dan tindakan manusia bervariasi berdasarkan struktur sosial-kultural yang lebih luas. Seluruh tindakan manusia dan nilai-nilai tertentu hanya dapat dipahami dan dinilai dalam kerangka arti dan konteks sosial kultural yang spesifik.
  • Kita tidak dapat membuat general theory yang dapat mengartikan dunia atau menyarankan cetak biru maupun skema bagi emansipasi universal manusia.
  • Tidak ada fakta mengenai dunia. Yang kita miliki hanyalah penafsiran dan penafsiran dari tafsiran orang lain mengenai realitas.
  • Contoh terbaik tokoh konstruktivis adalah Alexander Wendt yang konstruktivismenya terangkum dalam artikel ‘Anarchy is what states make of it’ dan dalam bukunya ‘Social Theory of International Politics’.
  • Upaya Wendt sangat penting karena ia menawarkan program penelitian konstruktivisme dan menjanjikan untuk membawa neo-liberalisme bersama-sama dengan reflektivisme.
  • Wendt mengklaim bahwa anarki internasional bukanlah sesuatu yang tetap dan tidak serta merta menimbulkani perilaku negara yang self-interested yang dipandang rasionalis sebagai sesuatu yangt dibangun ke dalam sistem tersebut. Wendt berpikir bahwa anarki dapat mengambil beberapa bentuk.
  • Terdapat keberatan-keberatan penting terhadap klaim Wendt, yaitu penjelasannya yang dianggap terlalu rasionalis dan tradisional.

 Konstruktivisme Wendt sebagai jembatan neo-realis dan neo-liberal
Neo-realisme
Konstruktivisme Wendt
Neo-liberalisme
Logika anarki bersifat struktural dan mengarah pada konflik
Tidak ada logika untuk anarki, anarki adalah efek dari praktik, ‘Anarchy is what states make of it’
Logika anarki adalah proses yang akan mengarah pada kerja sama

Tiga prinsip mendasar teori sosial konstruktivis:
  • Orang-orang bertindak terhadap objek-objek, termasuk aktor-aktor lain, berdasarkan arti yang dimiliki objek-objek tersebut bagi mereka: Pengatahuan sosial
  • Pengertian (meanings) di mana suatu tindakan diorganisasi muncul dari interaksi: Praktik sosial
  • Identitas dan kepentingan dihasilkan dalam dan melalui ‘aktivitas yang ditempatkan’: Identitas dan kepentingan sosial (Wendt: 1995)


PERDEBATAN BESAR DALAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

Perdebatan Besar Pertama: Idealisme vs realisme

Asumsi pertama kaum realis berkenaan dengan negara. Buku yang sangat berpengaruh dalam HI datang dari seorang realis, Hans J. Morgenthau, yang berjuduk Politics among Nations: A Struggle for Power and Peace. Perdebatan ini dipicu oleh karya E. H. Carr yang berjudul The Twenty Years’Crisis setelah idealisme dianggap gagal. Kegagalan idealisme tercermin dari kegagalan LBB dalam mempertahankan keadaan damai, setelah lembaga itu gagal mencegah Jepang untuk menyerang Manchuria, Italia dalam menguasai Etopia, dan Rusia ketika mencoba untuk mendominasi Finlandia. Puncak dari kegagalan itu adalah ketika Jerman menyerang Polandia pada tahun 1939, yang kemudian mengawali Perang Dunia II.
Terjadinya Perang Dunia II mematahkan asumsi pertama kaum idealis, yaitu prinsip self-determination yang berarti setiap negara berhak untuk menentukan nasibnya sendiri, dan  dengan demikian berhak atas kemerdekaan. Kaum idealis menganggap terjadinya perang dikarenakan negara melaksanakan secret agreement atau secret diplomacy tanpa sepengetahuan rakyatnya. Oleh karena itu, kaum idealis mendorong terciptanya public participation (partisipasi pubik) dalam kebijakan luar negeri atau foreign policy.
Yang terpenting dari pemikiran-pemikiran dalam idealisme adalah organisasi internasional atau menurut Wilson, organisasi politik internasional, yang akan berfungsi sebagai wadah untuk mempertemukan perbedaan-perbedaan di antara negara-negara dan menyelesaikannya (dispute settlement). Negara akan menyerahkan sebagian kedaulatannya pada organisasi internasional dan organisasi internasional akan menjadi wadah bagi collective security.
Asumsi lain dari kaum idealis adalah perlu dibentuknya sebuah pemerintahan dunia atau world government yang mengatur negara-negara di dunia dan menyelesaikan perselisihan-perselisihannya.Asumsi realis lebih sederhana dan mencerminkan kehidupan sehari-hari manusia, dan oleh karenanya lebih populer. Machiavelli menganalogikan sifat manusia dan negara (yang terdiri dari manusia) dengan binatang, yaitu fox (kelicikan) dan lion (power). Tokoh-tokoh realis antara lain E.H. Carr, Niehbur, dan G. F. Kennan. Kennan adalah seorang diplomat yang mengemukakan kebijakan pembendungan atau containment policy, terkenal dengan kalimat, ‘Siapakah Mr. X?’.
Asumsi utama realisme adalah semua negara, selalu dan selamanya, mengejar power atau bersifat power seeking dan hubungan internasional adalah ajang dari struggle of power. Negara yang bersifat power seeking diwujudkan dalam upaya peningkatan kapabilitas (memperkuat kekuatan bersenjata/militer), dan jika suatu negara tidak cukup mampu untuk melakukan hal ini, maka negara tersebut akan membentuk aliansi. Hal ini kemudian memunculkan konsep atau teori balance of power. Menurut kaum realis, negara yang tidak memiliki kekuatan bersenjata justru akan mengundang perang karena negara yang memiliki kekuatan akan mencoba untuk menguasainya. Hal ini tercermin di dalam Melian Dialogue antara negara kota Melos, yang kekuatan bersenjatanya sangat lemah, dan Athena yang memiliki power yang jauh lebih besar, di mana Athena memberikan dua opsi, yaitu tunduk secara suka rela atau dimusnahkan. 
Inti perdebatan besar pertama antara idealisme dan realisme berkisar pada cara untuk menyelesaikan peperangan atau untuk menciptakan perdamaian. Kaum idealis berpendapat bahwa perdamaian dapat diciptakan melalui prinsip collective security di mana organisasi internasional menjadi representative of security. Kaum idealis menyarankan agar negara mengurangi tingkat persenjataannya hingga level yang paling rendah dan menyandarkan keamanannya pada collective security. Collective security adalah prinsip di mana ketika suatu negara diserang oleh negara lain, negara-negara lain yang tergabung dalam organisasi internasional akan membantu negara yang diserang tersebut.
Kaum realis menyatakan bahwa motivasi manusia (dan negara) adalah selalu ingin menguasai dan selalu berusaha meningkatkan kekuasaannya. Hal ini berlaku untuk semua negara. Asumsi lainnya adalah negara bersifat rasional atau bertindak berdasarkan cost-benefit. Tidak akan ada negara yang bersedia berkorban demi negara lain. Oleh karena itu, untuk mencegah perang, perlu diciptakan balance of power yang prinsipnya adalah menakut-nakuti negara agar tidak menyerang negara lain karena kekuatannya seimbang.
Perdebatan lain antara kaum realis dan idealis berkisar pada motivasi negara dalam sistem internasional. Kaum idealis berpendapat bahwa negara-negara cenderung mengadakan kerja sama (cooperation) sedangkan kaum realis berpendapat bahwa negara-negara mengejar power demi keuntungan mereka. Asumsi kaum realis dapat dirangkum dalam tiga S, yaitu statism, di mana negara menjadi hal sentral dalam hubungan internasional, self-help, yang berarti negara harus dapat mempertahankan dan mengurusi dirinya sendiri di dalam sistem internasional yang anarkis, dan survival, yaitu negara selalu bertujuan untuk mempertahankan keutuhan dan kebulatan negaranya, terutama dalam hal wilayah.
Yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah eksistensi idealisme sebagai school of thought. Menurut Peter Wilson, idealisme sebagai sebuah paradigma adalah sebuah mitos, dan oleh karenanya perdebatan besar pertama ini merupakan sebuah mitos. Menurutnya, idealisme adalah sekumpulan pemikiran dan prinsip yang berkembang setelah Perang Dunia I terutama untuk mencegah terjadinya perang, dan kemudian diberi label ‘idealisme’ atau ‘utopianisme’ karena dianggap tidak realistis. Yang memberi nama kepada sekumpulan gagasan ini adalah kaum realis yang mengklaim diri mereka realistis dan memandang dunia sebagaimana keadaan yang sebenarnya (yang memberi nama utopianisme adalah E. H. Carr).
Dalam perkembangannya, realisme terbagi menjadi dua, yaitu realisme klasik dan realisme kontemporer. Realisme klasik adalah salah satu pendekatan tradisional yang bersifat normatif dan fokus terhadap nilai-nilai keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara. Realisme klasik ini muncul sejak zaman Yunani kuno. Sedangkan realisme kontemporer merupakan doktrin yang berdasarkan pendekatan scientific dan fokus pada sistem dan struktur internasional.
Berikut ini adalah tiga pemikir dalam pendekatan realisme yang banyak mempengaruhi perkembangan realisme itu sendiri:

Menurutnya hubungan internasional merupakan persaingan dan konflik yang tidak dapat dihindari di antara kota-kota bangsa pada zaman Yunani kuno, yang secara keseluruhan membentuk peradaban kultur linguistik yang dikenal dengan nama “Hellas”. Ia juga melihat hubungan antara Hellas dan kekaisaran-kekaisaran non Yunani seperti Macedonia atau Persia. Dari hubungan tersebut dapat dilihat adanya ketidakseimbangan kekuatan misalnya adanya great power seperti Athena, Sparta, dan Persia.
Ciri utama realismenya adalah berkarakter natiralis. Thucydides mengatakan bahwa hewan yang berpolitik memiliki ketidaksamaan kekuatan dan kemampuan dalam mendominasi dan mempertahankan diri dari yang lain. Semua negara harus dapat beradaptasi dengan realitas tersebut atau akan hancur.
Menurut Thucydides, keadilan adalah suatu yang special dan berbeda dalam hubungan internasioanal. Keadilan bukanlah hal tentang perlakuan adil bagi semua negara tetapi mengetahui tempat yang tepat dalam beradaptasi terhadap realitas alam tentang unequal power.
Menurut ajaran poltiknya, nilai politik yang paling utama adalah kebebasan nasional, misalnya kemerdekaan. Tanggung jawab utama dari penguasa adalah selalu mencari keuntungan dan mempertahankan kepentingn-kepentingan negaranya dan kemudian memastikan kelangsungannya. Hal tersebut memerlukan power, namun jika tidak cukup kuat akan mengundang negara lain untuk menyerangnya. Penguasa harus menjadi seekor srigala (cerdik, ahli dan tangkas) atau seekor singa (licik dan kejam). Jadi, inti dari realisme Machiavelli adalah teori survival.
Dunia adalah tempat yang bebahaya, sekaligus tempat yang layak pula. Menurut Machiavelli, pemimpin negara yang bertanggungjawab jangan bertindak sesuai dengan ajaran etika Kristen yang penuh dengan ajaran moral. Ia melihat nilai-nilai moral tersebut sebagai puncak ketidakbertanggungjawaban secara politik.
Morgenthau bersama E.H. Carr merupakan dua orang pertama yang menggunakan istilah “realisme”. Ia merupakan seorang realis neoklasik yang melihat manusia sebagai makhluk yang berpolitik, mereka dilahirkan untuk power  dan untuk menikmati hasil dari power tersebut. Politik merupakan struggle for power antar manusia dan apapun tujuannya, power merupakan tujuan utamanya, cara untuk mendapatkannya menentukan teknik tindakan politik. Morgenthau mengikuti tradisi Thucydides dan Machiavelli bahwa terdapat suatu moralitas bagi private sphere dan yang lainnya, serta moralitas yang sangat berbeda bagi public sphere.
Menurutnya, prinsip-prinsip moral yang universal tidak dapat diterapkan oleh negara dalam bentuk universalnya yang abstrak, tetapi harus disaring melalui keadaan yang nyata baik yang sesuai dengan waktu maupun tempat. Individu dapat mengatakan “keadilan harus ditegakkan meskipun dunia runtuh”, tetapi negara tidak berhak berkata demikian.
Terdapat enam prinsip politik realisme menurut Morgenthau:
Selain ketiga ahli di atas terdapat pula nama-nama seperti Edward Hallett Carr, Henry Kissinger, Kenneth Waltz, dan Max Weber yang juga banyak mempengaruhi perkembangan Realisme.

Perdebatan Besar Kedua: Pendekatan Tradisional vs Behavioural

Jika perdebatan pertama berkisar pada events atau fenomena, atau isu-isu substantif, perdebatan besar kedua merupakan perdebatan mengenai metodologi. Perdebatan ini berlangsung antara kaum tradisional dan kaum behaviouralis.
Tradisionalisme merupakan metodologi yang bersifat normatif-historis, legal-formal, filosofis, dan hasil penelitiannya bersifat subjektif. Pendekatan ini berasumsi bahwa fakta dan kebenaran terdapat di dalam diri manusia sendiri. Pendekatan klasik  dalam hubungan internasional tidak memiliki metodologi yang eksplisit, tidak merumuskan hipotesis serta mengujinya, dan tidak menggunakan`perangkat penelitian formal. Dalam pendekatan klasik, pandangan mengenai teori dibatasi oleh ruang dan waktu. Pendekatan klasik memiliki beberapa asumsi, yaitu: (1) jika kita membatasi diri dengan standar-standar verifikasi dan kuantifikasi yang ketat, maka hanya sedikit hal penting yang dapat dikatakan mengenai hubungan internasional, (2) pengetahuan mengenai hubungan internasional harus berasal dari proses ilmiah yang tidak sempurna, yang melibatkan persepsi dan intuisi, dan (3) generalisasi mengenai HI harus selalu bersifat tentatif.
Sebaliknya, behaviouralisme bersifat empiris, mengedepankan objektivitas, dan kuantitatif serta harus melalui serangkaian metode di mana terdapat pengujian atau verifikasi secara empiris (metode ilmiah).
Elemen-elemen pokok dari pendekatan behavioural adalah :
  1. manusia secara individual adalah unit dasar analisis
  2. politik dipandang hanya sebagai salah satu aspek dari perilaku manusia
  3. perilaku politik harus dianalisis dalam berbagai tingkatan termasuk dalam level sosial, budaya, dan personal.
Hal-hal yang ditekankan oleh pendekatan behavioural:
    • Kekuatan penjelasan atau eksplanasi
    • Pola-pola yang berulang (recurrent patterns)
    • Konsep-konsep operasional dengan referensi empiris yang terukur
    • Kerangka kerja konseptual
    • Teknik pengumpulan data yang pasti
    • Pengukuran dan presentasi
Dalam metode ilmiah terdapat formulasi konsep dan hipotesis serta berusaha untuk melakukan eksplanasi sistematis. Asumsi dari pendekatan ini adalah bahwa kebenaran serta fakta ada ‘di luar sana’ dan oleh karenanya dapat ditemukan.
Perbandingan antara Pendekatan Tradisional dan Behavioural
Tradisional
Behavioral
Memahami norma dan nilai-nalai
Menjelaskan (explaining)
Penilian (judgement)
Pengumpulan data
Pengetahuan historis
Pengetahuan ilmiah (scientific knowledge)
           

Perdebatan Besar Ketiga: Perdebatan Antarparadgima


“Historical accounts of the third debate tend to be more ambiguous than that of the other two debates, but it is commonly described as an inter-paradigm debate that took placein the early 1980s among realists, pluralists and structuralists”
                                                                           Michael Banks, 1985

“The typical explanation of the origins of third debate holds that, during the 1970s, realism fell on some difficult times when events in the realm of international politics, particularly in economic sphere but also regarding matters of peace and security, appeared to contradict some of the key realist assumptions about the nature of interstate politics”
                                                                           S. Smith, 1987

Perdebatan besar ketiga berlangsung di antara realisme, pluralisme, dan strukturalisme/globalisme. Inti dari perdebatan ini adalah mengenai aktor yang paling penting dalam hubungan internasional, yaitu antara negara dan transnational actors atau state centric dan non-state centric. Menurut kaum realis, aktor-aktor selain negara tidak memainkan peran yang signifikan, atau setidaknya berada di bawah negara (subordinat), sedangkan kaum pluralis menekankan pentingnya aktor-aktor transnasional, seperti individu, organisasi internasional, dan Multinational Corporations. Pertentangan lain yang terdapat di antara ketiganya yaitu mengenai dinamika dan variabel-variabel dependen.
Pemikiran realisme dapat dilacak hingga tulisan Thucydides, Machiavelli, Hobbes, dan Clausewitz. Realisme menekankan keutamaan peran negara di dalam hubungan internasional dan mensubordinatkan aktor-aktor lainnya. Oleh karena itu, realisme merupakan paradigma yang bersifat state-centric. Asumsi-asumsi realisme yang lain adalah negara bersifat manunggal atau unitary dan rasional, serta menekankan power politics. Dalam dinamikanya, kaum realis menekankan power sebagai tujuan maupun instrumen untuk mencapai tujuan. Model hubungan internasional menurut kaum realis adalah model bola biliard atau billiard ball model.
Pemikiran pluralisme menentang pemusatan perhatian pada negara yang dilakukan oleh kaum realis. Sebaliknya, kaum pluralis berpendapat bahwa hubungan internasional bersifat multi-centric, bukan state-centric maupun global centric. Mereka menekankan pentingnya peran aktor-aktor transnasional, terutama dalam bidang ekonomi yang ditandai dengan meningkatnya interdependensi atau saling ketergantungan di antara negara dan aktor-aktor transnasional, termasuk di dalamnya aktor-aktor di dalam negara (subnational actors). Pluralisme juga menolak asumsi realis mengenai negara yang manunggal dan rasional. Tindakan negara terkadang bukan merupakan representasi dari kepentingan negara secara keseluruhan, melainkan kepentingan pihak-pihak di dalam negara yang seringkali bertentangan satu sama lain. Oleh karenanya kaum pluralis menganggap bahwa kepentingan nasional adalah suatu konsep yang menyesatkan karena tidak pernah ada kebijakan atau perumusan mengenai kepentingan negara sebagai suatu keseluruhan. Negara pun terkadang melakukan tindakan-tindakan yang tidak memperhitungkan untung-rugi karena dipengaruhi oleh faktor idiosinkretik pemimpinnya. Dalam dinamika hubungan internasional, kaum pluralis menekankan gerakan sosial yang kompleks. Model hubungan internasional menurut kaum pluralis bersifat kompleks, yaitu model jaring laba-laba (cobweb model).
Globalisme atau strukturalisme disebut juga World System Theory menentang asumsi state-centric maupun multi-centric dari kaum realis dan pluralis, melainkan berpendapat bahwa aktor utama dalam hubungan internasional adalah kelas. Berdasarkan pandangan ini, hubungan internasional adalah mengenai eksploitasi kelas kapitalis (negara-negara kaya yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme, Dunia Utara atau Dunia Pertama) terhadap kelas proletar (negara-negara miskin di Dunia Selatan). Pandangan globalisme mereduksi semua permasalahan menjadi permasalahan ekonomi dan menganggap bahwa isu-isu lain, seperti keamanan dan politik hanya berada di permukaan saja. Model hubungan internasional menurut kaum Globalis adalah model gurita berkepala banyak (octopus model) di mana kepala gurita tersebut mewakili negara-negara kapitalis kaya yang menjulurkan tentakel-tentakelnya kepada negara-negara miskin dalam proses eksploitasi yang tiada akhir.
Perdebatan ketiga dicirikan dengan sebuah serangan neomarxist atas tradisi yang tidak bisa dipungkiri oleh pendekatan-pendekatan dari realisme/neorealisme, dan liberalisme/neoliberalisme. Concern debat ini pada IPE. Ia menciptakan sebuah situasi lebih komplek dalam disiplin HI sebab perluasannya hingga ke wilayah isu-isu ekonomi dan sebab pengenalan-pengenalannya mengenai problem negara-negara dunia ketiga diperdebatan ini tidak ada yang benar-benar memenangkan perdebatan.









Perdebatan Besar Keempat: Positivisme vs Postpositivisme

 

Positivisme

Salah satu pendekatan mainstream yang memiliki dalil yang sulit untuk dipatahkan adalah positivisme. Positivisme atau metode positivistik menyebut science sebagai kunci, mempunyai ‘real world’, dan empiris (bisa dirasakan dan dialami oleh panca indera). Positivisme adalah gerakan filosofis yang dicirikan oleh penekanan pada ilmu pengetahuan dan metode ilmiah sebagai satu-satunya sumber pengetahuan, pemisahan yang tegas antara fakta dan nilai, dan penolakan atas agama dan filsafat. Kaum positivis percaya bahwa hanya ada dua sumber pengetahuan, yaitu penalaran logis dan pengalaman empiris.
Di dalam positivisme terdapat prinsip verifiability, yaitu prinsip bahwa suatu pernyataan hanya memiliki arti apabila dapat dibuktikan kebenarannya melalui pengalaman. Dalam artinya yang paling luas, positivisme berpandangan bahwa tujuan pengetahuan hanyalah untuk menjelaskan fenomena yang kita alami dan harus difokuskan pada hal-hal yang dapat diukur dan diamati. Prinsip penelitiannya bersifat kuantitatif.
Dalam pandangan positivistik, ilmu pengetahuan bertujuan untuk mencapai kebenaran dan memahami dunia sehingga kita dapat memprediksi dan mengendalikannya. Dunia dan alam semesta bersifat deterministik, yaitu bergerak dalam koridor sebab akibat yang dapat kita lihat apabila kita menerapkan pendekatan unik dari metode ilmiah. Kaum positivis mempercayai bahwa empirisisme membentuk inti ilmu pengetahuan. Kunci pendekatan dari metode ilmiah adalah eksperimen. Metode positivistik diadopsi dari ilmu alam, yaitu sebagai berikut:

                                               
Kerangka pemikiran adalah sekumpulan pendapat para ahli yang telah terlebih dahulu melakukan penelitian secara empiris.
Derivasi dari positivistik antara lain scientificism, empirisisme (positivistik murni), rasionalisme, dan behaviouralisme.
Behaviouralisme adalah pendekatan terhadap studi politik dan fenomena sosial lainnya yang memfokuskan diri pada tindakan dan interaksi antarunit dengan menggunakan metode observasi ilmiah dan berusaha mengkuantifikasi variabel-variabelnya.
Untuk memahami positivisme, kita harus memahami perbedaan di antara epistemologi dan metodologi. Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme, yang berarti pengetahuan. Epistemologi adalah filsafat pengetahuan mengenai bagaimana kita mengetahui sesuatu, sedangkan metodologi sifatnya lebih praktis. Metodologi difokuskan pada cara-cara spesifik yang dapat digunakan untuk memahami dunia kita.
Perdebatan mengenai isu-isu metodologis berlanjut di bawah judul pendekatan positivis dan postpositivis, yang sering juga disebut reflektivis.
Positivisme merupakan metodologi yang memainkan peranan penting dalam Hubungan Internasional dan sebagian besar penelitian dalam disiplin ini dilaksanakan dengan menggunakan prinsip-prinsip positivis.
Metodologi positivistik dalam Hubungan Internasional merupakan warisan dari pendekatan behavioural dan menggunakan asumsi-asumsi dari behaviouralisme secara lebih mutakhir. Positivisme berpendapat bahwa dunia sosial dan politik, termasuk dunia internasional memiliki pola-pola yang berulang, yang dapat dijelaskan jika kita menerapkan metodologi yang tepat.
Kaum positivis menekankan pengamatan dan pengalaman sebagai kunci untuk menyusun teori ilmiah mengenai penilaian-penilaian (judgments). Mereka juga mempercayai bahwa pengetahuan dapat disusun secara objektif berdasarkan pengujian secara empiris.
Menurut Vasquez, teori empiris yang baik harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
  1. akurat dan terbatas
  2. universal dan tidak relatif
  3. dapat diverifikasi
  4. memiliki kekuatan dalam penjelasan
  5. terbuka terhadap perbaikan
  6. konsisten dengan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya
  7. parsimonious (hemat)
Kaum positivis percaya bahwa kajian ilmiah harus bersifat netral atau bebas nilai, namun bukan berarti tidak dapat digunakan untuk mendukung nilai-nilai tertentu, misalnya teknologi nuklir dapat digunakan untuk mendukung pertahanan nasional.

Postpositivisme

Postpositivisme adalah istilah dengan cakupan arti yang luas, mencakup perspektif-perspektif yang bervariasi. Perspektif-perspektif tersebut berkembang dalam lapangan studi HI sejak akhir tahun 1970, meliputi critical theory, konstruktivisme, feminisme, dan postmodernisme. Selain itu, terdapat pula perdebatan dalam teori normatif Hubungan Internasional antara kosmopolitanisme dan komunitarianisme. Hal ini mengindikasikan bahwa metode positivistik tidak lagi mendominasi sifat dan batasan teori Hubungan Internasional kontemporer. Pendekatan-pendekatan postpositivis dapat dipandang sebagai upaya multidimensional untuk memperluas cakrawala epistemologi dan metodologi studi Hubungan Internasional.
Postpositivisme seringkali disebut dengan post-behaviouralisme di mana kebenaran tidak hanya bersifat faktual melainkan mencakup nilai-nilai (tidak memisahkan facts dengan values). Pendekatan ini tidak berusaha menjelaskan fenomena-fenomena di dalam hubungan internasional dengan cara menggabungkan kausalitas antarfaktor, melainkan mencoba untuk memahaminya. Pendekatan postpositivis menggunakan metodologi yang bersifat kualitatif.
Pendekatan ini juga menolak objektivitas yang merupakan kunci dari pendekatan positivisme. Menurut kaum postpositivis, manusia tidak mungkin dapat menjadi bebas nilai dan objektif. Sebagai alternatif, mereka menawarkan konsep intersubjektivitas di mana penilaian dan norma-norma masuk di dalamnya, contohnya dalam normative theory yang didasarkan pada sejarah, filsafat, dan hukum. Pendekatan-pendekatan postpositivis meliputi critical theory, postmodernisme, konstruktivisme, dan teori normatif. Critical theory adalah pengembangan dari pemikiran Marxis yang bertujuan untuk membuka topeng dominasi global negara-negara kaya yang berasal dari Dunia Utara terhadap negara-negara miskin. Critical theory memandang kebenaran sebagai sesuatu yang secara bawaan bersifat politik. Menurut mereka, ilmuwan dan ilmu-ilmu sosial merupakan instrumen kekuasaan.
Postmodernisme mempertentangkan persoalan kenyataan, kebenaran, dan gagasan bahwa di dunia ini terdapat pengetahuan yang meluas mengenai dunia manusia. Menurut para postmodernis, naratif, termasuk metanaratif, selalu dibentuk oleh para teoris, dan oleh karenanya selalu dipengaruhi oleh prasangka dan sudut pandang mereka. Jalan cerita (narrative) tersebut dapat didekonstruksi, yaitu dengan memisahkan dan membuka elemen-elemen subjektif dan maksud-maksud yang tersembunyi di belakangnya.
Konstruktivisme bersepakat dengan kaum positivis bahwa kita dapat mengumpulkan pengetahuan yang sah mengenai dunia ini. Yang membuatnya bertentangan dengan para positivis adalah bahwa pendekatan ini menekankan pentingnya peran dari gagasan-gagasan dan pengetahuan bersama mengenai dunia sosial. Negara-negara saling membentuk satu sama lain dalam hubungan-hubungan mereka, dan mereka juga membentuk anarki internasional yang mendefinisikan hubungan-hubungan tersebut: anarki dibuat oleh negara-negara itu sendiri.
Teori normatif berusaha menjelaskan isu-isu moral yang mendasar dari hubungan internasional. Pandangan-pandangan normatif utama adalah kosmopolitanisme dan komunitarianisme yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan kompleks seperti hak-hak apa saja yang dimiliki negara dan yang dimiliki oleh individu dan mana yang lebih utama di antara hak individu dan negara. Etika internasional memusatkan perhatian pada pilihan-pilihan moral yang harus diambil oleh para negarawan.
Dua dimensi metodologis yang mendasar adalah sifat dari dunia sosial (ontologi) dan hubungan antara pengetahuan kita dan dunia tersebut (epistemologi). Dimensi ontologis memusatkan perhatian pada sifat dari kenyataan sosial, apakah bersifat objektif atau subjektif (bentukan manusia). Dimensi epistemologis memusatkan perhatian pada cara kita mendapatkan pengetahuan mengenai dunia, apakah kita dapat menjelaskannya secara ilmiah atau memahaminya secara interpretatif. Terdapat perbedaan antara menjelaskan Hubungan Internasional dan memahaminya. Menjelaskan Hubungan Internasional berarti membangun suatu  ilmu sosial yang valid dengan proposisi-proposisi yang teruji secara empiris. Di ujung yang lain adalah usaha untuk memahami Hubungan Internasional, yaitu untuk mengerti dan menafsirkan topik-topik substantif yang menjadi kajian di dalamnya. Menurut pandangan ini, permasalahan-permasalahan historis, legal-formal, dan moral, mengenai politik dunia tidak dapat diterjemahkan menjadi ilmu pengetahuan tanpa salah mengartikannya.

KESIMPULAN

Fenomena dalam hubungan internasional sangat begitu kompleks sehingga menimbulkan berbagai macam perdebatan-perdebatan. Perdebatan terjadi seiring dengan fenomena yang terjadi dalam hubungan antar negara, hal ini terjadi  bukan saja dalam fenemone-fenomena tertentu akan tetapi teori atau metodeologi yang digunakan oleh para penstudi HI-pun  banyak yang mempertanyakan.
Dampak dari hal itu menimbulkan juga begitu banyak pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam hubungan internasional, diantaranya seperti, Konstruktivisme dan the ‘English School’, Teori Eksplanatoris/Konstitutif dan Teori Foundational/Anti-Foundational, meintrem HI yaitu realisme dan liberalisme kemudian ada juga teori reflektifis, yang derivasi-derivasi adalah, normative theory, postmodenism, feminism, dan critical theory
Secara umum, ada empat perdebatan yang pernah terjadi dalam  sejarah perkembangan studi Hubungan Internasional, yaitu:
  1. Perdebatan antara pendekatan realisme dengan pendekatan liberalisme. Berlangsung dari tahun 1930-an sampai dengan 1940-an (pasca Perang Dunia ke-2).
  2. Perdebatan antara aliran pemikiran tradisional dengan aliran pemikiran saintifik. Berlangsung sekitar tahun 1950-an.
  3. Inter-paradigm debate. Berlangsung pada tahun 1960-an sampai dengan tahun 1980-an.
  4. Perdebatan antara aliran positivisme dan post-positivisme. Perdebatan ini terjadi pasca perang dingin atau sekitar tahun 1990-an.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar